Ngaji Hikam Part 17

NGAJI HIKAM #17

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ini, mohon maaf, saya tidak bisa menyertai dan menunggui teman-teman seperti biasa, karena ada acara. Ngaji berlangsung seperti biasa, “in absentia”.
Mari kita mulai Ngaji Hikam #17 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah…

---------------------------------
BUKAN GELAS YANG ENGKAU CARI, TETAPI ISINYA

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Al-kawnu kulluhu dzulmatun wa innama anarahu dzuhur al-haqq fihi.

Terjemahan:
Seluruh keadaan (alam raya, “kawn”) ini adalah kegelapan. Yang membuatnya bercahaya dan terang benderang ialah terbitnya Yang Maha Benar di dalamnya.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami secara umum, di luar konteks keilmuan batin atau esoterisme, dan secara khusus dalam konteks ilmu-ilmu kerohanian atau tasawwuf.

Pengertian umum. Segala hal yang ada di dunia ini, berupa kenyataan, fakta, data, realitas, adalah sesuatu yang gelap, dalam pengertian tak beraturan, keotik, kacau balau. Saat anda berhadapan dengan ribuan lalu-lintas di tengah-tengah kota Jakarta, misalnya, ada melihat suatu pemandangan yang kacau, tak beraturan, tak berpola, tak mengikuti “hukum” tertentu. Itulah yang disebut kegelapan.

Tetapi, begitu anda menelaah dengan cermat ribuan kendaraan di tengah kota itu, dan mencari pola tertentu, anda pelan-pelan akan menemukan semacam sinar terang di tengah kekacauan itu. Ternyata ribuah kendaraan itu bergerak mengikuti pola tertentu. Di permukaan, seolah-olah ribuan kendaraan itu adalah sesuatu yang gelap. Tetapi jika anda sudah berhasil menemukan pola tertentu, maka hal yang semula kacau itu akan pelan-pelan kelihatan jelas. Terang. Tak membingungkan.

Saya pernah mengalami sendiri keadaan ini.

Suatu malam, saya menyetir kendaraan, dan melewati perempatan Garuda di Taman Mini. Malam itu lalu-lintas sangat padat, dan ribuan kendaraan bergerak lambat seperti siput yang malas beringsut. Saya, malam itu, mestinya harus mengambil jalan menuju tol Jagorawi. Tetapi entah kenapa, saya salah jalur, sehingga saya menjauh dari arah yang tol. Saya harus berputar balik. Tetapi bagaimana berputar di tengah ribuan kendaraan yang sedang macet dan bergerak lambat? Saya seperti berhadapan dengan kekacauan yang tanpa pola. Saya bingung.

Tetapi saya harus putar balik. Akhirnya, pelan-pelan, dengan sabar, saya mencari celah. Ada bukaan pada pemisah jalan tempat orang-orang biasa berputar balik. Saya menunggu dengan sabar, dibantu oleh polisi “gopek” yang biasa mencari uang receh dengan membantu orang-orang lewat atau putar balik. Saya akhirnya berhasil memutar, setelah menunggu lama, dan harus sabar menanti kebaikan hati para supir kendaraan dari arah yang berlawanan. Saya nyaris tak percaya malam itu, bahwa saya bisa putar balik.

Di jalan, setelah melewati keruwetan lalu-lintas itu, saya berpikir: Ternyata, di tengah-tengah lalu-lintas yang tampak ruwet itu, ada suatu pola. Pola itu ialah: orang-orang akan memberi anda jalan untuk lewat jika anda sabar menunggu. Ini hanya contoh sederhana: realitas itu tampak gelap, kacau. Dia akan menjadi teratur dan tidak membingungkan jika kita berhasil menemukan pola yang ajeg di dalamnya.

Ini adalah keadaan yang dihadapi oleh semua ilmuwan. Mereka biasa berhadapan dengan informasi yang jumlahnya ribuan, bahkan jutaan. Informasi itu mula-mula tampak gelap, tak beraturan, kacau balau, “chaotic”. Tetapi dia harus menemukan “kebenaran” di dalam kekacauan itu. Kebenaran tersebut tak lain ialah sebuah teori, penjelasan, keterangan mengenai informasi yang kacau itu. Setelah teorinya ditemukan, realitas yang semula kelihatan kacau itu kemudian menjadi terang-benderang.

Benarlah kata Syekh Ibn Ataillah: alam raya ini berisi kegelapan. Maksudnya ialah kekacauan. Ia baru menjadi jelas jika cahaya kebenaran menyorotkan sinarnya kepada kegelapan itu.

Tugas para ilmuwan adalah mencari kebenaran di tengah-tengah kekacauan alam raya. Para ilmuwan atau saintis bisa kita serupakan dengan para sufi. Bedanya, para saintis adalah sufi untuk ilmu-ilmu lahir, ilmu-ilmu yang berkenaan dengan alam fisik, alam badan dan wadag. Sementara para sufi adalah ilmuwan atau saintis ilmu-ilmu rohani. Keduanya memiliki kesamaan: mereka bertugas mencari Kebenaran (dengan K besar) yang bisa menyinari dan menjelaskan alam raya yang gelap ini.

Pengertian khusus/mistik. Bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan menuju Tuhan, dan mengikuti laku tasawwuf, seluruh ciptaan di alam raya ini bisa menjadi hijab atau penutup yang menghalangi perjalanan orang itu menuju kepada tujan akhir, yaitu Tuhan. Sebab alam raya ini adalah kegelapan, sementara Tuhan adalah cahaya. Sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Nur:35: Tuhan adalah cahaya langit dan bumi. Allahu nur al-samawati wa al’ard.

Alam raya ini seperti sebuah bulan. Ia pada dasarnya materi yang gelap. Bulan bercahaya hanya jika ada matahari yang memberinya sinar. Jika matahari tak ada, maka cahaya bulan akan sirna juga. Demikian juga, manusia dan alam raya ini, semuanya adalah kegelapan. Mereka ini bisa bersinar jika ada cahaya ketuhanan yang menyinarinya. Sebab hanya Tuhanlah sumber cahaya.

Jika kita mengikuti pemikiran sufi besar Ibn Arabi (w. 1240), seluruh kenyataan, baik yang kita lihat atau tidak, pada intinya adalah Tuhan. Kenyataan dan wujud yang bermacam-macam itu –langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral—semuanya pada dasarnya adalah cerminan dari Tuhan saja. Yakni Tuhan yang satu tetapi mewujud dan nampak dalam keragaman wujud. Keragaman wujud itu, hanyalah pada penampakannya saja ia kelihatan bermacam-macam, plural. Tetapi ia sejatinya satu saja: yaitu Tuhan.

Artinya, jika kita mengikuti pemikiran Ibn Arabi, yang ada adalah cahaya saja, yaitu Tuhan. Kegelapan hanyalah penampakan yang palsu saja.

Kata wali besar dan sekaligus penyair sufi dari Andalusia, Abul Hasan al-Shustari (w. 1269): La tandzur ila al-awani, wa khud bahra ‘l-ma’ani, la’allaka tarani. Jangan melihat wadah saja, melainkam selamilah lautan makna, maka engkau akan melihat Aku. Alam raya adalah sebuah wadah, bejana. Jangan melihat wadah, atau gelas. Lihatlah isinya, air yang ada di dalamnya.
Sesiapa yang hanya melihat wadah saja, terpukau dan terkesima oleh keindahan gelas, ia akan terhalang untuk menikmati sesuatu yang lebih berharga dari gelas itu, yaitu isi yang ada di dalamnya.

Gelas adalah alam raya ini. Air yang ada di dalam gelas itu adalah perlambang hakikat wujud ketuhanan. Seindah apapun bentuk gelas, jangan sampai engkau tertipu olehnya. Engkau harus meraih sesuatu yang ada di dalam gelas itu. Sebab di sanalah cahaya berada.

Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini? Intinya: jangan tertipu oleh gelas. Oleh wujud lahir. Carilah cahaya, yaitu isi gelas.[]

Bersambung....


Oleh : Mbah Panglima Jampari (07 Oktober 2015 - 05:16)

Sumber : https://web.facebook.com/notes/forsil-aswaja-nusantara-fan-/0017-ngaji-hikam-17/559171237566394
Forsil Aswaja Tujuan didirikannya Group Forsil Aswaja Nusantara adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah dengan menganut salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) serta mempersatukan langkah para 'Ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan Majelis Ta'lim dan Silaturahmi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 17"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel