Ngaji Hikam Part 18

NGAJI HIKAM #18

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

JIKA ANDA BELUM PAHAM, ARTINYA ANDA MASIH TER-HIJAB

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ini, mohon maaf, saya tidak bisa menyertai dan menunggui teman-teman seperti biasa, karena ada acara. Ngaji berlangsung seperti biasa, “in absentia”.
Mari kita mulai Ngaji Hikam #18 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah…
---------------------------------

Syekh Ibn Ataillah berkata:

Fa man ra’a al-kauna wa lam yasyhadhu fihi aw ‘indahu aw qablahu aw ba’dahu, fa qad a’wazahu wujud al-anwar wa hujibat ‘anhu syumusy al-ma’arif bi suhub al-atsar.

Terjemahannya:
Sesiapa yang melihat wujud alam raya ini, tetapi tidak melihat Yang Maha Benar di sana, maka sesungguhnya dia belum mendapatkan cahaya, dan awan-awan jejak wujud-Nya masih menghijabnya, menghalanginya untuk melihat matahari pengetahuan tentang hakikat-Nya.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami dalam dua pengertian: pengertian umum dan khusus.
Pengertian umum. Semua orang yang memiliki indera tentu saja bisa melihat kenyataan-kenyataan bendawi yang ada di alam raya ini: matahari, bulan, bintang-bintang, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan mineral. Semua wujud-wujud fisik itu bisa diindera oleh siapa saja. Tetapi, sebagaimana telah dikatakan oleh Ibn Ataillah dalam pembahasan sebelumnya, semua kenyataan fisik itu gelap, tak bisa dipahami, membingungkan.

Hanya cahaya kebenaran yang bisa membuat kenyataan-kenyataan itu bersinar, dan bisa dipahami. Bagi seorang ilmuwan, cahaya itu biasanya terjadi pada saat dia mengalami “aha moment”, saat-saat di mana dia merasa plong karena tiba-tiba sesuatu yang semula gelap menjadi terang karena dia telah menemukan “pola” atau teori di baliknya.

Jika seseorang melihat semua kenyataan bendawi itu, tetapi tak melihat cahaya kebenaran di sana, berarti dia masih dalam kondisi kegelapan, sehingga tak melihat cahaya di sana. Dia belum menemukan pengertian dan pemahaman. Dia masih terhijab.

Jika kita melihat alam raya, tetapi tak melihat cahaya Tuhan di sana, berarti kita memang belum mendapatkan cahaya pengertian dari-Nya. Kita masih diselimuti oleh kabut kegelapan. Kita masih terhalang oleh yang nampak di mata, sehingga belum bisa melihat inti atau hakikat gaib yang ada di balik yang tampak itu. Sebab, Yang Maha Benar memang sekaligus juga Maha Gaib.

Tetapi Yang Maha Gaib meninggalkan jejak-jejak-Nya dalam alam raya ini. Bagi orang yang mendapatkan cahaya pengertian, ia bisa menemukan Yang Maha Gaib itu melalui jejak-jejak-Nya di alam raya ini. Manakala ia tak bisa melihat-Nya, maknanya ia masih terpenjara oleh jejak Tuhan, terpukau dengan jejak-jejak itu, sehingga ia lupa dan tak mampu menemukan Tuhan di sana.

Jejak Tuhan di alam fisik ini memang indah. Keindahan ini bisa menghijab atau menghalangi seseorang sehingga ia tak bisa melihat hakikat yang ada dibalik keindahan itu. Seorang yang beriman adalah orang yang beriman akan sesuatu yang gaib, sesuatu yang tak tercerap oleh indera-indera badan kita.
Sebaliknya orang yang “kafir” ialah dia yang terpenjara pada yang nampak saja, pada sesuatu yang material, sehingga mengingkari hal-hal yang di ada balik yang nampak.

Pengertian khusus. Syekh Ibn Ataillah, dalam bagian ini, membuat suatu penggambaran yang indah tentang kebenaran Tuhan, atau bahkan mengenai Tuhan itu sendiri. Kebenaran Tuhan (al-haqq, al-haqiqah), atau Tuhan itu sendiri, ada di dalam segala sesuatu, ada pada segala sesuatu, ada sebelum sesuatu, dan ada setelah sesuatu.

Dia ada di dalam segala sesuatu sebagai sebuah esensi (“fihi”). Dia ada pada segala sesuatu sebagai sebuah proses (“‘indahu”). Dia juga sebab dari segala sesuatu (“qablahu”). Dan Dia juga akibat dari segala sesuatu (“ba’dahu”). Dengan kata lain, dia meliputi segala sesuatu dari segala sudut. Dia adalah yang nampak, tetapi sekaligus tersembunyi. Dia nampak dalam ketersembunyian-Nya. Dia tersembunyi dalam kenampakan-Nya.
Makna ungkapan Ibn Ataillah ini memang memuat sebuah misteri, mengandung banyak kemungkinan makna – fihi, ‘indahu, qablahu, ba’dahu. Tuhan itu ada di dalam sesuatu, pada sesuatu, sebelum sesuatu, dan sesudah sesuatu. Ini, bagi saya, ungkapan mistis dan sekaligus puitis. Tak bisa dipahami dengan pengertian lahiriah saja.
Syekh Ibn ‘Ajibah mengartikan ungkapan ini dengan mengutip ungkapan sebagian para orang-orang yang telah mencapai pengertian atau ‘arifin. Kata sebagian oran-orang ‘arif: Orang-orang pada umumnya melihat alam bendawi, alam fisik, dan setelah itu –sesudah melalui tahap refleksi dan perenungan— baru dia melihat “mukawwin” atau Tuhan yang mengadakan sesuatu itu. Sementara orang-orang ‘arifin, mereka tak melalui tahap yang gradual seperti itu. Sebab mereka tak melihat kecuali Tuhan itu sendiri. Dia tak melihat wujud fisik. Dia langsung melihat Yang Maha Gaib.

Dengan kata lain, orang-orang yang telah mencapai tahap ma’rifat, ia tak melihat jejak-jejak Tuhan di alam raya itu. Sebab, jejak-jejak itu hanya sesuatu yang semu saja. Yang mereka lihat hanya Tuhan. Kemanapun dia memalingkan muka, di sana dia hanya melihat Tuhan saja. Mereka melihat Tuhan di dalam, pada, sebelum dan sesudah segala sesuatu.

Orang semacam ini ialah orang yang bisa kita sebut sebagai orang rohani, seorang spiritualis, seorang esoteris, seorang yang ‘arif, seorang yang “tahu” hakikat segala sesuatu. Saya tahu, ini bukan tahap yang bisa dicapai oleh semua orang. Tetapi, minimal, kita tahu bahwa ada taham semacam ini, dan kita pelan-pelan, melalui kesabaran, berusaha mencapainya. Orang yang telah mencapai tahap semacam ini, bisa kita sebut sebagai wali atau kekasih Tuhan. Seluruh ucapannya adalah kebijaksanaan. Seluruh tindakannya adalah gerak-gerik Tuhan.
Apa pelajaran dari sini? Jika anda belum bisa memahami sesuatu yang ada di sekitar anda, itu artinya cahaya ketuhanan belum datang. Anda masih terhijab. Telekung yang menutup mata batin anda belum tersingkap. 

Maknanya: anda masih harus terus berusaha agar mata batin anda kian tajam. Anda harus membersihkannya, sehingga anda sampai pada suatu titik ketika cahaya dari Tuhan itu datang, lalu anda mencapai pemahaman. Tetapi anda jangan berhenti berusaha untuk meraih pemahaman, untuk meraih cahaya, untuk mencapai pengertian.[]

Bersambung....


Oleh : Mbah Panglima Jampari (07 Oktober 2015 - 22:38)

Sumber : https://web.facebook.com/notes/forsil-aswaja-nusantara-fan-/0018-ngaji-hikam-18/559171527566365
Forsil Aswaja Tujuan didirikannya Group Forsil Aswaja Nusantara adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah dengan menganut salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) serta mempersatukan langkah para 'Ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan Majelis Ta'lim dan Silaturahmi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 18"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel