Ngaji Hikam Part 44

NGAJI HIKAM #44 


JANGAN MENGORBANKAN KEMERDEKAAN KITA DENGAN MENGHAMBA KEPADA SELAIN TUHAN 


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 


Mari kita mulai Ngaji Hikam #44 ini dengan menghadiahkan Fatihah kepada Syaikh Ibn Athaillah (qs), kepada kedua orang tua kita dan kepada guru-guru kita termasuk kepada orang yang berjasa kepada kita. 


Mari kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim

______________________


Syaikh Ibn Athaillah berkata: 


من لا يستطيع ان يرفع حاجة عن نفسه فكيف يستطيع ان يكون لها عن غيره رافعا 


Man la yasthi’u an yarfa’a hajatan ‘an nafsihi, fa-kaifa yastathi’u an yakuna laha ‘an ghairihi rafi’an? 


Terjemahan: 


Bagaimana mungkin seseorang yang tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, bisa memenuhi kebutuhan orang lain? 


Pengertian umum. Hanya Tuhan saja yang bisa memenuhi kebutuhan manusia. Tentu saja, ini bukan berarti bahwa manusia tidak bisa menolong orang lain untuk memenuhu kebutuhannya. Manusia jelas bisa saling membantu yang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Tetapi, hanya Tuhanlah sandaran terakhir yang bisa ditumpui harapan jika manusia sedang membuthkan sesuatu. 


Oleh karena itu, sebaiknya manusia tidak bergantung kepada orang lain, sebab ketergantungan semacam itu, seperti telah kita bahas dalam bagian sebelumnya, menjadikan manusia kehilangan otonomi dan kemerdekaan. Tujuan akhir dalam beragama adalah membuat manusia tidak bergantung kepada siapapun kecuali pada Tuhan itu sendiri. Dari sinilah akan lahir situasi kejiwaan yang merdeka yang menjadi ciri khas orang-orang beriman. 


Salah satu cara untuk menghancurkan mental ketergantungan pada diri kita ialah dengan mengikuti pemahaman yang diajarkan oleh Syakh Ibn Athaillah di sini: Bagaimana mungkin kita bergantung kepada manusia lain sementara dia sendiri juga bergantung kepada orang lain? Bagaimana kita disandera oleh “hutang budi” kepada orang lain sementara yang bersangkutan boleh jadi juga tersandera oleh hutang yang sama kepada orang lain lagi? Begitulah seterusnya. 


Dengan menyadari fakta seperti ini, kita akan pelan-pelan bisa membebaskan diri dari situasi ketergantungan dan “penghambaan” kepada orang lain. Memusatkan ketergantungan hanya kepada Tuhan saja akan menghancurkan mata-rantai ketergantungan kita kepada yang selain Tuhan. 


Tidak seperti yang dikatakan oleh para filsuf eksistensialis Barat seperti Friedrich Nietzsche atau Jean-Paul Sartre, beriman kepada Tuhan bukanlah untuk membuat manusia menjadi bermental “budak” dan menghamba kepada Tuhan. 


Penghambaan kepada Tuhan hanyalah “strategi mental dan spiritual” agar kita terbebas dari ketergantungan kepada manusia lain. Percaya kepada Tuhan bukanlah untuk membenamkan dan meremehkan eksistensi manusia. Sebaliknya, kepercayaan itu untuk memuliakan eksistensi dan wujud manusia dengan cara membebaskannya dari ketergantungan kepada orang lain. 


Tergantung kepada orang lain menciptakan kondisi jiwa yang kurang sehat. Sementar percaya dan bergantung kepada Tuhan, jika dihayati secara tepat, bukan secara fatalistis, bisa melahirkan kondisi kejiwaan yang merdeka. Faith in God creates freedom and autonomy. 


Hal ini nampak paradoks dalam penglihatan yang sekilas, tetapi jika kita hayati dengan sebenar-benar penghayatan sebenarnya tidak sama sekali. 


Pengertian khusus. Seorang bijak berkata: man i’tamada ‘ala ghairil-Lahi fa-huwa fi ghururin, li-anna al-ghurura ma layadumu, wa la-yadumu syai’un siwahu. Sesiapa yang bergantung kepada selain Dia, yakni Tuhan, maka dia telah terjatuh kepada sebuah tipuan dan delusi. Sebab apa yang disebut tipuan dan delusi adalah sesuatu yang tak akan bertahan lama. Sementara itu, tak ada sesuatu yang abadi selain Dia. 


Sebagaimana telah saya katakan pada bagian terdahulu, salah satu ajaran penting dalam laku mistik atau tasawwuf adalah mengajari kita untuk mencapai situasi merdeka, tak tergantung kepada apapun selain kepada Tuhan yang memang layak menjadi sandaran gantungan. 


Ketergantungan kepada orang lain bisa mengecewakan kita, bisa menjadi sumber penderitaan, bisa menjadi sebab kedukaan. Jika kita ini meraih kebahagiaan dalam hidup, salah satu jalan yang sangat penting untuk kita tempuh adalah bagaimana memutuskan ketergantungan ini. Dengan memutus tali “dependency” itu, ketergantungan itu, kita akan mengalami kemerdekaan mental. 


Boleh saja kita secara fisik tergantung kepada orang lain, misalnya kita bekerja kepada orang lain itu dan tergantung padanya untuk memperoleh gaji bulanan kita. Tetapi ketergantungan lahiriah itu hanyalah ketergantungan semu belaka. Asalkan kita bisa membebaskan rohani dan jiwa kita dari ketergantungan itu, kita akan tetap bisa menjaga kemerdeakaan kita secar rohaniah, walau secara fisik kita tampak tergantung kepada orang lain. 


Sebab manusia itu dinilai karena rohaninya, bukan karena penampakan luarnya, penampakan jasadnya. 


Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: kemerdekaan itu sangat berharga bagi manusia. Jangan sampai kita korbankan itu untuk alasan apapun. Manusia hanya layak menjadi hamba bagi Tuhan saja, bukan hamba bagi orang lain. 


Sampai jumpa di Ngaji Hikam selanjutnya di kesempatan mendatang. Marilah kita tutup Ngaji kali ini dengan bacaan Hamdalah.. 


Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Oleh : Kang Ahmad Robbani

Forsil Aswaja Tujuan didirikannya Group Forsil Aswaja Nusantara adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah dengan menganut salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) serta mempersatukan langkah para 'Ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan Majelis Ta'lim dan Silaturahmi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 44"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel