Ngaji Hikam Part 43

NGAJI HIKAM #43


JANGAN SEKALI-KALI BERPALING DARI TUHAN


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Mari kita mulai Ngaji Hikam #43 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Athaillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.


Mari kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim 

______________________


JANGAN SEKALI-KALI BERPALING DARI TUHAN


Syekh Ibn Athaillah berkata:


لاَ تتَعدَّ نيَّةُ هِمَّتَكَ اِلىَ غيرِهِ فاَلْكَريْمُ لاَتتخـَطـَّاهُ الاَماَلُ


"La tata’adda niyyatu himmatika ila ghairihi, fa al-karimu la tatakhattahu al-amalu. La tarfa’anna ila ghairihi hajatan huwa muriduhu ‘alaika. Fa-kaifa yurfa’u ila ghairihi ma kana huwa lahu wadli’an."


Terjemahan:


Janganlah sekali-kali niatmu melampaui Dia dan berpaling kepada orang lain. Sebab, Tuhan yang murah hati tak akan membuat kecewa suatu harapan (yang diarahkan kepada-Nya). Janganlah sekali-kali engkau memanjatkan kepada orang lain suatu harapan yang hanya bisa dipenuhi oleh Tuhan. Bagaimana mungkin sebuah harapan dipanjatkan kepada orang lain, padahal Dia lah yang menciptakannya?


Mari kita telaah kebijaksanaan Syekh Ibn Athaillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.


Pengertian umum. Salah satu dimensi penting dalam kehidupan seorang beriman adalah doa atau memanjatkan suatu harapan kepada Tuhan. Sebagaiamana pernah dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syekh Ibn Ataillah dalam bagian yang terdahulu, doa kita arahkan kepada Tuhan bkan karena semata-mata kita berharap apa yang menjadi isi doa kita itu terkabulkan. Kita berdoa karena itulah pertanda bahwa kita adalah seorang hamba. Doa adalah indikasi kedudukan kita sebagai makhluk yang sudah seharusnya mengabdi kepada Sang Khalik.


Sikap yang tepat dalam kehidupan seorang beriman adalah menghindarkan diri sebisa mungkin untuk bergantung kepada selain Tuhan. Tempat bergantung yang paling baik adalah Tuhan. Tak ada yang lain. Dengan menhindarkan diri dari ketergantungan kepada orang lain selain Tuhan kita akan bisa mewujudkan sebuah sikap yang secara mentah lebih sehat: yaitu mandiri, dan hanya bergantung kepada Tuhan saja. Sebab, ketergantung kita kepada orang lain akan menciptakan ketergantungan yang mengurangi otonomi kita.


Hidup yang sehat adalah hidup yang otonom: tak bergantung secara berlebihan kepada kebaikan orang lain. Dalam situasi tertentu, kadang-kadang ketergantungan semacam itu membuat kita merasa menjadi “budak” bagi orang lain. Kita menjadi berhutang “budi” kepada orang lain. Kita merasa tidak nyaman. Kita merasa sungkan. Dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, dan hanya mengarahkan ketergantungan semata-mata kepada Tuhan saja, kita menjadi merdeka.


Salah satu tujuan pokok menjalani kehidupan mistik/sufi adalah menata sikap hidup yang tepat agar kita menjadi manusia yang merdeka secara rohani, kejiwaan, tidak menjadi “budak kebaikan” orang lain yang bisa melumpuhkan mental kita. Hidup yang membahagiakan bisa kita capai saat kita merasa merdeka dari ketergantungan kepada orang lain. Perasaan merdeka itulah yang membuat kita tak takut berkata benar kepada orang lain manakala diperlukan.


Ini bukan berarti bahwa kita tak boleh meminta pertolongan dari orang lain, bahwa kita tak boleh menjalani kehidupan gotong royong, saling menolong dalam masyarakat. Bukan itu yang dimaksudkan di sini. Kehidupa tolong menolong tentu sangta baik. Tetapi tergantung pada pertolongan orang lain sehingga menghilangkan rasa kemerdekaan kita sendiri sebagai manusia, itulah yang harus dihindari. Jangan sampai pertolongan orang lain menjadi satu-satunya tempat bergantung kita.


Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Ghazali: al-insan ‘abd al-ikhsan. Manusia bisa menjadi hamba bagi kebaikan orang lain. Hutang budi yang berlebihan bisa membiat kita secara mental kehilangan harga diri dan menjadi “budak” dari orang lain.


Pengertian khusus. Sebagaimana kita ketahui, segala hal selain Tuhan adalah khayalan semata, kenyataan semu. Jika dalam satu titik dalam kehidupan kita, kita merasakan sutau keadaan yang kurang menyenangkan, merasakan penderitaan, merasakan suatu “hajat” atau kebutuhan yang begitu mendesak, maka kita harus bisa menata sikap secara positif dan menghadapi keadaan itu dengan sikap rela. Bukan mencaci, dan lalu berpaling dari Tuhan. Sebab, Tuhan dengan kemurahan dan kasih-sayangnya tak akan mengecewakan harapan kita.


Pelajaran yang hendak disampaikan oleh Syekh Ibn Athaillah di sini ialah sederhana saja: jangan berpaling dari Tuhan, walau Anda berhadapan dengan situasi yang sulit. Hanya dengan sikap semacam inilah kita bisa terus bersikap positif, optimis dan tetap berharap.


Sebab harapanlah yang akan membuat manusia terus “terapung” di permukaan, tidak tenggelam.


Sekian Ngaji Hikam kali ini, semoga memberikan manfaat bagi saya pribadi dan semua umumnya, sampai ketemu di Ngaji Hikam berikutnya. Marilah kita tutup kajian ngaji kita dengan bacaan "Hamdalah".


Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


SUMBER : Kajian kitab Hikam Pesantren Virtual Ulil Abshar Abdalla

Oleh : Kang Ahmad Robbani

Forsil Aswaja Tujuan didirikannya Group Forsil Aswaja Nusantara adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah dengan menganut salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) serta mempersatukan langkah para 'Ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan Majelis Ta'lim dan Silaturahmi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 43"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel