Ngaji Hikam Part 42
Rabu, 01 Maret 2017
Tulis Komentar
NGAJI HIKAM #42
JIWA YANG BERCAHAYA
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mari kita mulai Ngaji Hikam #42 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Athaillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai.
Bismillahirrahmanirrahim.
______________________
JIWA YANG BERCAHAYA
Syekh Ibn Athaillah berkata:
٭ شُعَاعُ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ قـُرْبَهُ مِنْكَ وَعَيْنُ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ عَدَمكَ لِوُجُودهِ وَحَق ُّ الْبَصِيرَةِ يُشـْهِدُكَ وُجُودَهُ لاَ عدَمكَ وَلاَ وُجُودَكَ ٭
Shu’a’ al-basirati yusyhiduka qurbahu minka, wa ‘ain al-basirati tusyhiduka ‘adamaka li-wujudihi, wa haqq al-basirati yusyhiduka wujudahu la ‘adamaka wa la wujudaka. Kana ‘l-Lahu wa la syai’a ma’ahu, wa huwa al-ana ‘ala ma ‘alaihi kana.
Terjemahan:
Sinar mata-hatimu (basirah) menunjukkan kedekatan-Nya padamu. Sementara pandangan mata-hatimu menunjukkan bahwa engkau tak ada karena hnaya Dia yang ada. Dan kebenaran dalam mata hatimu menunjukkan keberadaan-Nya, bukan ketidak-beradaan atau keberadaanmu. Sebab, Tuhan dulu ada pada saat segala sesuatu tak ada bersama-Nya. Dan sekarang Dia kembali seperti sediakala.
Kebijaksanaan Syekh Ibn Athaillah kali ini memiliki makna yang begitu mendalam. Mari kita urai pelan-pelan baik dengan pengertian umum atau khusus.
Pengertian umum. Ada dua mata dalam setiap manusia: mata fisik dan mata hati atau mata rohani. Mata fisik tugasnya ialah mengindera apa yang dalam filasafat Islam disebut dengan “al-mahsusat”, hal-hal yang bisa diindera, “sensible”. Mata fisik memiliki kemampuan melihat benda-benda fisik yang bersifat tak tembus pandang, “opaque”, benda-benda yang gelap (al-zulmaniyyah).
Sementara mata hati atau mata rohani memiliki kemampuan melihat makna-makna dan pengertian yang abstrak, halus, dan bercahaya (al-ma’ani al-lathifah al-nuraniyyah). Tetapi kedua mata ini memiliki kesamaan, yaitu hanya bisa melihat jika ada kondisi terang, ada cahaya di sekitar. Begitu cahaya redup dan hilang, kemampun melihat mata fisik dan mata rohani akan hilang pula.
Ketika cahaya muncul pada mata rohani kita, itu pertanda bahwa Kebenaran dan Tuhan mendekat kepada kita. Sebab, pada momen itulah kita melihat segala hal menjadi lebih terang. Pada momen itulah kita mulai bisa memahami rahasia-rahasia kehidupan. Dan pada momen itulah kita biasanya mengalami suatu pengalaman unik yang membuat kita bisa bersikap bijak. Itulah momen pencerahan spiritual – Buddha’s moment!
Dengan kata lain, saat kita merasakan pencerahan batin, itu pertanda bahwa Tuhan mendekat pada kita. Momen semacam ini akan membawa kebahagiaan yang mendalam bagi seseorang, seperti pengalaman keluar dari situasi berdesak-desak ke ruang yang terbuka sehingga kita bisa menghirup kembali udara yang segar.
Tetapi mata batin manusia juga memiliki bagian yang yang sangat vital, yaitu semacam “pupil” atau biji mata. Sebagaimana mata fisik kita memiliki “pupil” (apa yang dalam bahasa Arab disebut dengan al-‘ain), begitu juga mata batin kita memiliki “pupil”, bagian penginderaan dalam mata yang paling vital. Jika mata rohani kita sudah mendapatkan pencahayaan dari Tuhan, maka biji mata batin kita akan mendapatkan pengetahuan spiritual berikut ini: pengetahuan bahwa sesungguhnya kita tidak ada, maya, sebab yang ada secara hakiki hanyalah Tuhan saja.
Pada tahap berikutnya, mata rohani kita yang sudah mengalami pencahayaan itu akan mengalami hakikat atau kebenaran yang sejati: bahwa hanya Tuhanlah yang Ada. Sementara yang lain, termasuk manusia, tak bisa disebut dengan kategori apapun, baik ada atau tiada. Sebab yang ada secara sebenar-benarnya hanyalah Dia saja. Yang lain lebur, dan pudar sama sekali di hadapan wujud Tuhan.
Dengan kata lain, seseorang yang mengalami pencahayaan rohani, akan mengalami perjalanan spiritual dalam bentuk pengalaman rohani yang meningkat dari satu tangga ke tangga berikutnya. Pada tangga pertama, seseorang masih menyadari wujud dan keberadaannya. Dia masih merasa sebagai manusia yang punya wujud terpisah. Tetapi karena cahaya spiritual itu, dia mulai menyadari ada wujud lain yang lebih tinggi, yaitu wujud ketuhanan.
Pada tangga berikutnya, dia mulai menyadari bahwa dia tidak ada. Sebab yang ada hanyalah Tuhan saja, Wujud yang Sejati. Lalu, tahap yang paling tinggi ialah lenyapnya kesadaran tentang ada atau tiada. Dia sudah tak bisa lagi mengatakan bahwa dirinya ada atau tidak ada. Sebab dia hanya mengenal satu wujud saja, yaitu Wujud Tuhan.
Apakah pengalaman semacam ini ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari? Bukankah ini hanyalah “omong kosong” kaum sufi untuk menipu diri sendiri saja? Saya mengatakan: Tidak. Pengalaman rohani sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebab hanya dengan pengalaman seperti inilah seseorang bisa melihat segala hal dalam kehidupan ini dengan penuh kebijakan.
Seorang yang bersikap bijak dalam hidup sehari-hari adalah orang yang telah mengalami pencahayaan batin. Tanpa pencahayaan itu, dia akan kehilangan orientasi hidup, kehilangan “sense of direction” atau arah dan tujuan hidup yang jelas, dan akhirnya dia akan mengalami kedukaan rohani yang membuat hidupnya sengsara.
Pengertian khusus. Dalam kalangan sufi dikenal tiga tingkat pengetahuan. Ada pengetahuan tingkat pertama yang disebut ‘ilm al-yaqin. Ada pengetahuan tingkat kedua yang disebut ‘ain al-yaqin. Dan pengetahuan paling tinggi, yaitu haqq al-yaqin. Ilmu yang pertama adalah pengetahuan tentang adanya Tuhan melalui argumentasi rasional (burhan). Ilmu yang kedua adalah pengetahuan tentang Tuhan melalui pengalaman langsung (al-kasyf). Dan ilmu yang ketiga adalah tahap ketika seseorang bisa “melihat” langsung Kebenaran Tuhan, bukan sekedar mengalaminya.
Kesemuanya masuk dalam kategori ilmu. Dan setiap ilmu pada dasarnya adalah cahaya yang menerangi rohani manusia. Cahaya ini ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang sangat kuat, tergantung pada jenis pengetahuan yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Makin kuat cahaya yang ada dalam rohaninya, makin mendalam pengetahuannya tentang Kebenaran Sejati, dan dengan demikian makin bijak pula hidupnya.
Apa yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini ialah satu saja: Kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang dipandu oleh cahaya kebijakan. Cahaya ini tidak bisa “dibeli” dari luar, tetapi harus tumbuh dalam batin dan rohani manusia melalui pengalaman spritual yang terus-menerus diasah dan ditingkatkan setindak demi setindak.
Cahaya kebijakan inilah yang membuat kehidupan seseorang menjadi kehidupan yang bermakna dan membahagiakan. Kehidupan yang dalam istilah filosof Yunani Plato disebut “a well examined life”. Kehidupan yang diuji dan dihayati dengan sungguh-sungguh. Bukan kehidupan yang dibiarkan berlalu saja tanpa renungan, tanpa refleksi, dan akhirnya habis, punah, mati.
Kehidupan seperti itulah yang menimbulkan kesengsaraan bagi manusia.
SUMBER : Kajian kitab Hikam Pesantren Virtual Ulil Abshar Abdalla.
Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 42"
Posting Komentar