Ngaji Hikam Part 41
Rabu, 01 Maret 2017
Tulis Komentar
NGAJI HIKAM #41
KECERDASAN BISA SAJA MENJAUHKAN KITA DARI TUHAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mari kita mulai Ngaji Hikam #41 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Athaillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim
__________________________________
KECERDASAN BISA SAJA MENJAUHKAN KITA DARI TUHAN
Syekh Ibn Athaillah berkata:
٭ولاَنْ تصْحبَ جاهِلاً لاَيَرْضىَ عَن نَفسِهِ خيرٌ لكَ مِن اَن تصْحَبَ عَالِماً يَرْضىَ عَنْ نَفسِهِ فَاَيُّ عِلمٍ لعاَلِمٍ يَرْضىَ عن نفسهِ وَايُّ جَهْلٍ لِجاَهِلٍ لا يَرضىَ عن نفسهِ ٭
Wa la-an tash-haba jahilan la yardla ‘an nafsihi khairun min an tash-haba ‘aliman yardla ‘an nafishi. Fa-ayyu ‘ilmin li-‘alimin yardla ‘an nafsihi? Wa ayyu jahlin li-jahilin la yardla ‘an nafsihi?
Terjemahannya:
Lebih baik engkau bersahabat dengan orang bodoh yang bisa bersikap kritis pada dirinya, ketimbang dengan orang pintar yang tak mampu melakukan kritik-diri. Apalah gunanya ilmu bagi seorang pintar yang tak mampu melakukan kritik-diri? Dan apalah artinya kebodohan bagi seorang bodoh yang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri?
Mari kita pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Athaillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.
Pengertian umum. Dalam bagian lalu kita sudah membaca kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah tentang asal-usul kenapa seseorang lalai, dan kenapa seseorang terus waspada.
Sebagaimana sudah dijelaskan, asal-usul segala maksiat dan kelalaian seorang hamba adalah karena memiliki sikap puas terhadap dirinya sendiri, tunduk pada hawa nafsunya. Sementara asal-usul ketaatan dan kewaspadaan diri adalah karena seseorang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri, tak tunduk pada “comfort zone”, wilayah aman.
Pada bagian ini kita akan bergerak lebih jauh dan membicarakan mengenai pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh pergaulan sosial dan persahabatan. Menurut Syekh Ibn Athaillah, bersahabat dengan orang yang mampu bersikap kritis pada dirinya sendiri, tak merasa sombong dengan prestasi-prestasinya, tak pongah dengan pencapaiannya, tak merasa “nyaman” dengan apa yang sudah diraihnya, lebih baik daripada bersahabat dengan orang pintar tetapi pongah, puas diri, jumawa, dan tak mampu melihat kekurangan-kekurangan pada dirinya.
Sebab, persahabatan bisa menolong kita melakukan hal-hal positif terhadap diri kita sendiri. Lingkungan persahabatan bekerja sebagai semacam “ruang pengkondisian”, ruang yang menyediakan situasi yang kondusif bagi kita untuk mengerjakan hal-hal tertentu. Sebab sahabat-sahabat yang baik bisa memberikan “moral support” kepada kita untuk berbuat baik pula. Sebaliknya, lingkungan persahabatan yang buruk dan tak kondusif, membuat seseorang terkondisikan untuk melakukan hal-hal buruk.
Jika kita bersahabat dengan orang yang dari segi “ukuran akademis” bukanlah orang yang pintar, tetapi ia memiliki sikap yang baik, yaitu mampu melakukan kritik-diri, mampu menelaah kekurangan dan aib pada dirinya, persahabatan semacam itu jauh lebih baik ketimbang pesahabatan yang kita pupuk dengan orang yang pintar secara akademis tetapi sombong dan jumawa.
Orang yang jumawa dan sombong biasanya cenderung (meminjam istilah Syekh Ibn Athaillah) “yardla ‘an nafsihi”, puas dengan dirinya sendiri, tunduk pada nafsunya. Orang yang memiliki sikap puas diri biasanya mengalami kesulitan untuk melihat aib dan kekurangan pada dirinya. Bagaimana seseorang bisa melihat kekurangan dalam dirinya jika telah merasa puas dengan apa yang telah ia perbuat?
Orang yang puas diri biasanya juga susah tumbuh dan berkembang. Sebab, seseorang mampu melakukan perbaikan atas dirinya, dan dengan begitu mengalami perkembangan dan kemajuan, adalah disebabkan oleh kerana ia tidak puas diri, mampu melakukan “self-criticism”. Sementara orang yang tak mampu melihat kekurangan dirinya, bagaimana ia melakukan perbaikan diri, dan meraih kemajuan?
Persahabatan dengan orang-orang yang bodoh tetapi punya sikap positif untuk tak puas diri, jauh lebih baik. Sebab dengan persahabatan itu, kemungkinan kita untuk mengalami kemajuan dan perkembangan diri jauh lebih besar.
Ini sama dengan keadaan berikut ini: orang yang kurang pintar secara intelijensi, tetapi rajin dan tekun, jauh lebih memiliki kemungkinan sukses ketimbang seorang yang jenius tetapi malas dan tak mau bekerja keras. Kejeniusan seseorang seringkali sia-sia dan “muspra” karena yang bersangkitan tak memiliki sikap positif dalam hidup, yakni ketekunan, konsistensi, dan dedikasi dalam pekerjaan.
Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah, penulis komentar atas Kitab Hikam, kebodohan yang membuat seseorang justru ingin dekat dengan Tuhan lebih baik daripada kepintaran yang membuat seseorang jauh dari pada-Nya.
Kenapa kepintaran dan kecerdasan bisa membuat seseorang jauh dari Tuhan? Sebab kecerdasan pada seseorang kadang-kadang bisa menimbulkan sikap-sikap negatif, kotor dan buruk pada orang itu: kecongkakan, kesombongan, kepongahan. Sikap-sikap semacam ini justru akan membuat seseorang jauh dari Kebenaran.
Sementara, kondisi kebodohan malah justru bisa membuat seseorang rendah hati, bersikap positif, mau belajar terus-menerus, siap mengoreksi diri, mau melakukan “self-reformation” atau perbaikan diri terus menerus.
Orang-orang bijak berkata: Asyadd al-nas hijaban anil-Lahi al-‘ulama’, tsumma al-‘ubbad, tsumma al-zuhhad. Artinya: Orang-orang yang paling jauh dan terhijab/terhalang dari Tuhan adalah orang-orang yang ‘alim, lalu orang-orang yang rajin beribadah, dan lalu orang-orang yang zahid atau menjauhkan diri dari dunia.
Ini semua bukan berarti bahwa menjadi orang ‘alim, ‘abid, dan zahid adalah jelek. Bukan sama sekali. Yang dimaksudkan dengan kata-kata bijak ini ialah bahwa keunggulan-keunggulan tertentu pada seserang, seperti keunggulan intelektual, rajin ibadah atau sikap zuhud, bisa menjerumuskan seseorang pada sikap “puas diri”, sombong, dan merasa paling “tinggi” daripada orang-orang lain. Sikap-sikap semacam ini pada dirinya sudah merupakan penyakit kejiwaan yang berbahaya.
Apa yang bisa kita pelajari di sini ialah: Jangan sampai kita jumawa dengan keistimewaan yang ada pada kita. Teruslah menyadari bahwa sesempurna-sempurnanya manusia, tetaplah ada kekurangan pada dirinya sendiri. Kemampuan melihat kekurangan inilah yang menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan seseorang dalam hidup.
KESIMPULAN
1. Orang yang memiliki kelebihan biasanya tergoda untuk bersikap puas diri. Ini membuat yang bersangkutan justru susah meraih kemajuan dan perkembangan lebih lanjut, karena dia merasa telah cukup. Karena itu, memiliki kelebihan justeru harus disadari oleh seseorang sebagai ujian ketimbang semata-mata sebuah anugerah.
2. Bersahabat dengan orang yang secara “akademis” bodoh lebih tetapi memiliki sikap hidup yang positif, seperti rendah hati, kemampuan melakukan kritik diri, daripada bersahabat dengan orang-orang yang cerdas tetapi memiliki sikap-sikap negatif, seperti kecongkakakan dan sikap pongah.
Bersahabat dengan orang pintar yang bersikap semacam ini kerap membuat kita “ill-feel”, kesel. Sementara bersahabat dengan orang-orang yang tak terlalu pintar tapi bisa diajak diskusi dengan baik, tidak menggurui, tidak sok pintar, jauh lebih enak dan nyaman.
3. Ini semua memperlihatkan satu hal: bahwa sikap hidup yang positif jauh lebih baik ketimbang sekedar kecerdasan intelektual.
Allahumma, Ya Allah, jauhkan kami dari sikap-sikap negatif dalam hidup kami. Dan guyurlah kami dengan air hujan sikap positif dalam menjalani kehidupan kami.
Sampai bertemu di Ngaji Hikam #42. Mari kita tutup pengajian malam ini dengan bacaan hamdalah.
Wassalamu 'alaikum warahamtullahi wabarakatuh
SUMBER : Kajian kitab Hikam Pesantren Virtual Ulil Abshar Abdalla
Oleh : Kang Ahmad Robbani
Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 41"
Posting Komentar