Ngaji Hikam Part 35
Rabu, 01 Maret 2017
Tulis Komentar
NGAJI HIKAM #35
Bismillahirrahmanirrahim
KEDALAMAN ILMU MEMBUAT SESEORANG KIAN LUAS PANDANGAN DAN BIJAK
Mari kita mulai Ngaji Hikam #35 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
Catatan: Karena sedang ada acara malam ini, mohon maaf saya tak bisa menunggui pengajian. Silahkan dibaca bagian Hikam kali ini dan didiskusikan di antara teman-teman di ruang komentar. Yang hendak mengajukan pendapat, komentar dan pertanyaan, silakan.
Sekali lagi, mohon maaf.
________________________
KEDALAMAN ILMU MEMBUAT SESEORANG KIAN LUAS PANDANGAN DAN BIJAK
Syekh Ibn Ataillah berkata:
" Li-yunfiq dzu sa’atin min sa’atihi al-washiluna ilaihi, wa man qudira ‘alaihi rizquhu al-sa’iruna ilaihi. "
Terjemahan:
Hendaklah bersedekah orang-orang yang kaya dari kekayaannya, yaitu orang-orang yang telah “wusul” atau sampai kepada Tuhan. Begitu juga, orang-orang yang miskin, yang terbatas rejekinya, yang sedang dalam perjalanan menuju kepada Dia (hendaknya mereka bersedekah juga).
Pengertian umum. Ada dua derajat bagi manusia: yang pertama ialah derajat mereka yang sedang dalam perjalanan untuk mencari kebenaran; yang kedua, derajat mereka yang telah sampai kebenaran yang mereka cari itu. Orang-orang yang telah sampai kepada kebenaran yang hakiki, biasanya akan menjumpai sebuah keluasan pandangan, dan karena itu menjadi bijak.
Sementara orang-orang yang masih dalam tahap perjalanan, biasanya memiliki pandangan yang sempit, terbatas. Itulah sebabnya, kerapkali kita menyaksikan orang-orang yang demikian itu tampak lebih “kereng”, galak, dan keras, bahkan “sok paling relijius” ketimbang mereka yang sudah sampai kepada puncak pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.
Yang menarik di dalam bagian ini ialah bahwa Syekh Ibn Ataillah memakai ayat 65:7 itu dalam konteks pengertian mistik atau tasawwuf. Bunyi lengkap ayat itu ialah: Li yunfiq dzu sa’atin min sa’atihi, wa man qudira ‘alaihi rizquhu fal yunfiq mimma atahu ‘l-Lah. Terjemahan bebasnya: masing-masing orang hendaknya bersedekah – yang kaya bersedekah dari kekayaannya, dan yang miskin serta terbatas rejekinya, hendaknya bersedekah sesuai dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Kaya atau miskin, hendaknya seseorang mau membagi sebagian dari yang ia miliki dengan orang lain.
Siapa yang kaya, dan siapa yang miskin dalam konteks tasawwuf? Dalam kalimat Syekh Ibn Ataillah di atas, yang kaya ditakrifkan sebagai orang-orang yang telah berhasil mencapai ma’rifat, ilmu sejati, orang-orang yang “wusul”. Sementara orang-orang yang miskin adalah orang yang masih dalam tahap perjalanan.
Dalam ayat tadi, orang yang kaya, yakni orang yang telah sampai kepada kebenaran yang sejati, digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki kelapangan; dalam ayat tadi diungkapkan dengan frasa “dzu sa’atin” (yang memiliki kelapangan). Sementara orang miskin, yakni yang masih dalam tahap mencari Tuhan, digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki kesempitan: qudira ‘alaihi.
Dengan kata lain, kebenaran yang sejati membuat pandangan seseorang makin luas dan bijak, karena dia mampu meletakkan segala sesuatu dan kejadian dalam tempatnya yang pas dan proporsional. Orang semacam ini tidak gampang melakukan “penghakiman” kepada orang lain, termasuk menghakimi keyakinan-keyakinan orang yang berbeda.
Sebaliknya, mereka yang masih dalam tahap perjalanan cenderung terbatas wawasannya, dan gampang tergoda untuk melakukan penilaian yang kurang berimbang terhadap segala hal.
Masing-masing orang, kata Syekh Ibn Ataillah, akan ber-infaq atau bersedekah sesuai dengan wawasan kebenaran yang ia miliki. Yang “kaya” secara spiritual akan bersedekah kepada orang lain dari kekayaan spiritualnya itu; sementara yang miskin secara spiritual juga akan berbagi pengertian dan pemahaman sesuai dengan apa yang ia miliki.
Dengan kata lain: Kita harus lah memaklumi fakta semacam ini, sebab setiap orang tak bisa bertindak melebihi pengetahuan dan wawasan hidup yang ia miliki. Jika kita berjumpa dengan orang-orang yang masih terbatasan wawasannya secara spiritual lalu mudah menghakimi orang lain, kita maklumi saja, seraya kita berikan nasihat jika ia bersedia mendengarkan. Jika tidak, kita harus mafhum saja.
Sebaliknya, jika kita berhadapan dengan orang yang luas wawasan spiritualnya, maka hendaknya kita mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyesap sebanyak mungkin kebijakan dari yang bersangkutan.
Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: orang-orang yang mampu menerbangkan jiwa dan rohaninya ke alam roh (‘alam al-arwah), meninggalkan alam materi yang hanya bayang-bayang semu belaka (‘alam al-asybakh), ke alam kerajaan rohani (al-malakut), meninggalkan kerajaan materi (al-mulk) – mereka itu akan mengalami keluasan ilmu dan wawasan spiritual.
Sebaliknya, mereka yang membiarkan diri bersemayam dalam kesempitan wujud dan alam materi (al-akwan), membiarkan dirinya terpenjara oleh alam “simulacra” atau bayang-bayang yang memenjarakan jiwa, mereka itu tak akan dibukakan pintu menuju gudang pemahaman. Mereka harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu (tasfiyat al-qulub) dan melawan tendensi-tendensi buruk/jahat dalam dirinya (jihad al-nufus), sebelum bisa menikmati keluasan rohani dan pengetahuan spiritual.
Sebuah pesan “spiritual” dari Syekh Ibn Ajibah (penulis kitab Iqadz al-Himam yang merupakan syarah atau komentar atas Kitab al-Hikam) adalah sebagai berikut: Jika engkau hendak menikmati ilmu rasa (‘ilm al-adzwaq), yaitu ilmu tentang kebenaran yang sejati, maka engkau harus meninggalkan ilmu yang ada di kertas (‘ilm al-awraq).
Artinya: jika kita hendak terjun dalam pengalaman tasawwuf/mistik, tinggalkan teori di buku, dan jalanilah langsung apa yang tertulis di buku itu dalam kehidupan yang nyata, melalui pengalaman langsung. Sebab teori di buku tak akan mengubah apa-apa selain hanya menambahkan informasi ke dalam otak kita. Sementara ilmu tasawwuf adalah ilmu rasa dan hati.
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini ialah: Jika kita hendak memiliki keluasan pandangan dan wawasan spiritual, kita harus bisa melonggarkan ikatan diri kita dengan hal-hal yang sifatnya material, dan belajar pelan-pelan untuk mengasah ketajaman rohani; meninggalkan kerajaan materi menuju kepada kerajaan rohani. Di kerajaan rohanilah orang akan memiliki pandangan yang luas dan dari sana bisa menjalani hidup yang bijak.
Sekian Ngaji Hikam #35, sampai bertemu di Ngaji Hikam #36 besok malam. Mari kita tutup pengajian virtual ini dengan bacaan hamdalah.
Wassalam...
Oleh : Ahmad Robbani
Belum ada Komentar untuk " Ngaji Hikam Part 35"
Posting Komentar