Ngaji Hikam Part 34

NGAJI HIKAM #34

DUA JALAN MENUJU TUHAN

Bismillahirrahmanirrahim

Setelah seharian diramaikan dengan event khusus grup tercinta ini, yaitu Memeriahkan Harlah FAN yang ke#4.
Mari kita mulai kembali Ngaji Hikam #34 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
________________________

DUA JALAN MENUJU TUHAN

Syekh Ibn Ataillah berkata:
Syattana baina man yastadillu bihi aw yastadillu ‘alaihi. Al-mustadillu bihi ‘arafa al-Haqqa li-ahlihi, fa atsbata al-amra min wujud aslihi. Wa al-istidalalu ‘alaihi min ‘adam al-wusuli ilaihi. Wa-illa fa-mata ghaba hatta yustadalla ‘alaihi? Wa-mata ba’uda hata takuna al-atsaru hiya al-lati tusilu ilaihi?

Terjemahannya:
Beda sekali antara orang yang mencari dalil dengan Dia, dan yang mencari dalil untuk (menuju kepada) Dia. Orang yang pertama, yang mencari dalil dengan Dia, orang itu telah mengetahui Dia Yang Maha Benar, lalu menetapkan eksistensi segala sesuatu berdasarkan wujud aslinya.

Sementara orang yang mencari dalil untuk menuju kepada-Nya, dia melakukan itu karena belum sampai kepada Tuhan. Jika tidak demikian, sejak kapan Tuhan pernah bersembunyi lalu orang itu harus mencari dalil untuk menetapkan wujud-Nya dan untuk sampai kepada-Nya? Dan sejak kapam Tuhan begitu jauh sehingga membutuhkan jejak-jejak yang akan bisa membawa seseorang sampai kepada-Nya?

Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah kali ini tampak rumit, terutama dalam versi terjemahannya. Tetapi maksudanya sebetulnya sangat sederhana dan gampang dipahami. Mari kita pahami kebijaksaaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Ada dua jalan menuju kepada kebenaran. Jalan yang pertama adalah jalan yang ingin saya sebut jalan deduktif. Jalan kedua adalah jalan induktif. Jalan deduktif adalah jalan dari atas ke bawah. Jalan ini dimulai dari pengalaman iman dahulu, dimulai dengan sikap menerima kebenaran ketuhanan. Setelah pengalaman ini dicapai, baru orang yang bersangkutan memahami segala sesuatu berdasarkan iman yang ada di dalam dirinya itu.

Sementara jalan induktif adalah jalan dari bawah ke atas. Jalan ini dimulai dari pengamatan terhadap segala fenomena yang ada di dunia ini, kemudian dari sana pelan-pelan naik ke atas untuk menuju kepada Sang Pecipta. Jalan induktif adalah jalan yang mirip dengan pekerjaan seorang ilmuwan: bergerak dari data-data spesifik untuk kemudian menarik sebuah teori umum dan general dari sana.

Jalan deduktif adalah jalan para wali, yaitu orang yang sudah sampai kepada pengetahuan yang sejati tentang inti kehidupan dan Tuhan, orang-orang yang sudah mencapai ma’rifat. Orang-orang semacam ini sudah memiliki semacam “kunci” untuk memahami rahasia segala sesuatu dan mampu mengerti segala hal berdasarkan proporsinya masing-masing. Dia melihat dunia ini dengan mata “spiritual”: dia melihat Tuhan ada di mana-mana.

Jalan induktif adalah jalan yang ditempuh para mutakallimun atau teolog Islam. Para teolog Muslim memahami Tuhan dengan cara yang berbeda. Para teolog memahami Tuhan dengan jalan induktif: yaitu bergerak dari dunia yang nyata dan menjadikan dunia nyata itu sebagai jalan atau dalil menuju Tuhan.

Tentu saja beda antara dua jalan itu. Jalan deduktif adalah jalan orang-orang yang sudah sampai atau wusul kepada Tuhan, dan dari pengalaman wusul itu dia memandang seluruh gejala dan fenomena di dunia ini. Dia memandang dunia dengan “mata Tuhan”.

Sementara jalan induktif adalah jalan orang-orang yang belum sampai kepada Tuhan, sehingga mereka perlu mencari-Nya lewat “ayat-ayat Tuhan” yang ada di dunia ini.

Dengan kata lain, ada beda yang besar antara ilmu tasawwuf dan ilmu teologi. Ilmu tasawwuf menjumpai Tuhan dengan jalan “pengalaman spiritual”, sementara jalan teologi berusaja menjumpai dan menuju Tuhan dengan metode yang rasional. Menurut Syekh Ibn Ataillah, jalan tasawwuf lebih tinggi derajatnya ketimbang jalan teologi.
Pengertian khusus. Menurut Syekh Ibn Ajibah, ada dua jenis manusia. Yang pertama adalah manusia yang berada pada maqam mahabbah (ahl al-mahabbah), orang-orang yang mencintai Tuhan. Yang kedua adalah orang-orang yang ada pada maqam hikamh atau ahl al-hikmah. Manusia yang pertama adalah mereka yang diberikan pengetahuan tentang rahasia ketuhanan, rahasia eksistensi atau segala wujud yang ada.

Sementara manusia kedua adalah orang-orang yang masih berputar-putar di “kulit”, belum sampai kepada inti wujud. Dia sibuk dengan fenomena lahiriah, menelitinya, mengkajinya, mengobservasinya, tetapi dia belum sampai kepada inti dari sesuatu yang dia observasi itu. Tuhan begiti tampak dan terang-benderang dalam segala sesuatu, tetapi orang-orang yang ada pada maqam ini, maqam hikmah, tak mampu melihat-Nya.
Dari ajaran Syekh Ibn Ataillah ini kita bisa memetik satu hal: jalan terbaik untuk memahami dan mengerti Tuhan adalah jalan mistik. Bukan jalan rasional. Jalan mistik atau tasawwuf berdasarkan pada pengalaman langsung atas rahasia ketuhanan. Bukan melalui penalaran rasional.

KESIMPULAN

1. Ada dua jalan menuju Tuhan. Memakai istilah Syekh Ibn Ataillah, ada jalan “yastadillu bihi”, dan jalan “yastadillu ‘alaihi”. Jalan yang pertama adalah jalan tasawwuf. Jalan ini bekerja dengan cara mengalami Tuhan secara langsung, melalui ibadah, zikir, meditasi, refleksi dan pengalaman batin yang lain. Jalan yang pertama ini boleh kita sebut dengan “jalan rasa”. Merasakan Tuhan.

Jalan yang kedua adalah jalan para ilmuwan atau teolog: yaitu menumpai Tuhan lewat teori dan penalaran ilmiah, melalui prosedur riset, penelitian, observasi atas hal-hal yang ada di dunia ini. Jalan ini bisa disebut sebagai jalan “memikirkan Tuhan” yang berbeda secara mendasar dengan jalan “merasakan Tuhan.”

2. Jalan rasa, menurut Syekh Ibn Ataillah, lebih tinggi derajatnya ketimbang jalan pikir, Sebab jalan rasa membantu kita mengalami Tuhan secara langsung, bukan melalui perantaraan “atsar” atau jejak-jejak Tuhan di bumi ini.

Jalan yang pertama adalah jalan burhan, sementara yang kedua adalah jalan ‘irfan, kalau mau memakai istilah dari alm. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, filosof Muslim dari Maroko.
Allahumma, semoga Engkau memberkati kami dengan pengetahuan mengenai rahasia-MU sehingga kami bisa menjadi orang-orang yang bijak memahami segala wujud yang ada di dunia ini.

Sekian Ngaji Hikam #34, sampai bertemu di Ngaji Hikam #35 besok malam. Mari kita tutup pengajian virtual ini dengan bacaan hamdalah.

Wassalam..

Oleh : Ahmad Robbani


Forsil Aswaja Tujuan didirikannya Group Forsil Aswaja Nusantara adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah dengan menganut salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) serta mempersatukan langkah para 'Ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan Majelis Ta'lim dan Silaturahmi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 34"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel