0301 : Mampukah Alloh Menciptakan Batu besar ?

Mampukah Alloh Menciptakan Batu besar yang Alloh sendiri tidak mampu mengangkatnya??

*resensi buku2 Aswaja
--------------------------






Ada seorang mahasiswa bercerita kepada penulis bahwa suatu ketika salah seorang dosen Ilmu Kalam mengajukan “pertanyaan” di hadapan para mahasiswanya, ia berkata:

“Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, kuasakah Allah untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah sendiri?”
atau “Benarkah Allah maha kuasa? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya?”, atau berkata: “Jika benar Allah maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja?”.

Ungkapan-ungkapan buruk semacam ini seringkali dilontarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam, terutama pada jurusan filsafat. Ironisnya, baik dosen maupun mahasiswanya tidak memiliki jawaban yang benar bagi pertanyaan sesat tersebut.

Akhirnya, baik yang bertanya maupun yang ditanya sama-sama “bingung”, dan mereka semua tidak memiliki jalan keluar dari “bingung” tersebut. Hasbunallâh.

Entah dari mana pertanyaan buruk semacam itu mula-mula dimunculkan. Yang jelas, jika itu datang dari luar Islam maka dapat kita pastikan bahwa tujuannya adalah untuk menyesatkan orang-orang Islam. Namun jika yang menyebarkan pertanyaan tersebut orang Islam sendiri maka hal itu jelas menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak memahami tauhid, dan tentunya pengakuan bahwa dirinya sebagai seorang muslim hanya sebatas di mulutnya saja. Ini adalah contoh kecil dari apa yang dalam istilah penulis bahwa Ilmu Kalam telah mengalami distorsi.

Padahal, jawaban bagi pertanyaan sesat tersebut adalah bahasan sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam; ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian;

Pertama; Wâjib ‘Aqly.
yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya; akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu; keberadaaan Allah dengan sifat-sifat-Nya.

Kedua; Mustahîl ‘Aqly;
yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah.

Ketiga; Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly;
yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah.

Sifat Qudrah (kuasa) Allah hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan:

“Apakah Allah kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah-Allah yang lain?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah. Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly.

• Contoh kasus lainnya,bahwa suatu ketika datang seorang mahasiswa yang mengaku sangat menyukai filasafat. Setelah ngobrol “basa-basi” dengannya, tiba-tiba pembicaraan masuk dalam masalah teologi; secara khusus membahas tentang kehidupan akhirat. Dan ternyata dalam “otak” mahasiswa tersebut, yang kemudian dengan sangat “ngotot” ia pertahankan ialah bahwa kehidupan akhirat pada akhirnya akan “punah”, dan segala sesuatu baik mereka yang ada di surga maupun yang ada di neraka akan kembali kepada Allah.

“Mahasiswa” ini beralasan karena jika surga dan neraka serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya kekal maka berarti ada tiga yang kekal, yaitu; Allah, surga, dan neraka. Dan jika demikian maka menjadi batal-lah definisi tauhid, karena dengan begitu berarti menetapkan sifat ketuhanan kepada selain Allah; dalam hal ini sifat kekal (al-Baqâ’).

Kita jawab; Baqâ’ Allah disebut dengan Baqâ’ Dzâty; artinya bahwa Allah maha Kekal tanpa ada yang mengekalkan-Nya. Berbeda dengan kekalnya surga dan neraka; keduanya kekal karena dikekalkan oleh Allah (Bi Ibqâ-illâh Lahumâ).

Benar, secara logika seandainya surga dan neraka punah dapat diterima, karena keduanya makhluk Allah; memiliki permulaan, akan tetapi oleh karena Allah menghendaki keduanya untuk menjadi kekal, maka keduanya tidak akan pernah punah selamanya.

Dengan demikian jelas sangat berbeda antara Baqâ’ Allah dengan Baqâ’-nya surga dan neraka. Kemudian, dalam hampir lebih dari enam puluh ayat al-Qur’an, baik yang secara jelas (Sharîh) maupun tersirat, Allah mengatakan bahwa surga dan neraka serta seluruh apa yang ada di dalam keduanya kekal tanpa penghabisan.

Dan oleh karenanya telah menjadi konsensus (Ijmâ’) semua ulama dalam menetapkan bahwa surga dan neraka ini kekal selamanya tanpa penghabisan, sebagaimana dikutip oleh Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’, Imam al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki dalam al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dan oleh para ulama terkemuka lainnya.

Bila di tinjau lebih mendalam,sebenarnya mahasiswa seperti ini adalah murni sebagai korban distorsi Ilmu Kalam. Kemungkinan besarnya, ketika ia masuk ke Perguruan Tinggi, ia merasa bahwa dirinya telah berada di wilayah “elit” secara ilmiah, ia “demam panggung” dengan iklim wilayah tersebut, merasa dapat berfikir dan berpendapat sebebas mungkin, termasuk kebebasan berkenalan dengan berbagai faham teologis. Padahal ketika awal masuk ke Perguruan Tinggi tersebut ia adalah “botol kosong” yang tidak memiliki pijakan sama sekali. Akhirnya, karena ia botol kosong maka seluruh faham masuk di dalam otaknya, termasuk berbagai aliran faham teologis, tanpa sedikitpun ia tahu manakah di antara faham-faham tersebut yang seharusnya menjadi pijakan keyakinannya, padahal, -dan ini yang sangat mengherankan-, mahasiswa tersebut kuliah di fakultas dan jurusan keagamaan. Tentunya lebih miris lagi, ketika faham-faham teologis yang beragam ini dijamah oleh otak-otak mahasiswa non-keagamaan.

Dan yang tersebut terakhir ini adalah realitas yang benar-benar telah ada di depan mata kita.

Karenanya, seringkali kita melihat mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari jurusan non-keagamaan mengusung faham-faham teologis yang sangat ekstrim, bahkan seringkali mereka mengafirkan kelompok apapun di luar kelompok mereka sendiri, padahal mereka tidak memahami atau bahkan tidak tahu sama sekali apa yang sedang mereka bicarakan.

Kutipan Artikel di atas bisa di dapatkan di Buku : Studi Komprehensif tafsir 'ISTAWA'.
ALLOH ADA TANPA TEMPAT.
Penulis : Kholil Abu Fateh.

*saya tidak sedang jualan buku,hanya memberitahukan bahwa buku tersebut Sangat layak untuk di baca.


Link Diskusi : Mampukah Alloh Menciptakan Batu besar ?
Forsil Aswaja Tujuan didirikannya Group Forsil Aswaja Nusantara adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah dengan menganut salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) serta mempersatukan langkah para 'Ulama beserta pengikut-pengikutnya dan melakukan kegiatan-kegiatan Majelis Ta'lim dan Silaturahmi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia.

Belum ada Komentar untuk "0301 : Mampukah Alloh Menciptakan Batu besar ?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel