0033.HUKUM MEMPELAJARI THORIQOH/TAREKAT BERDASARKAN DALIL NAQLI DAN AQLI
Kamis, 04 April 2013
2 Komentar
HUKUM MEMPELAJARI THORIQOH/TAREKAT
BERDASARKAN DALIL NAQLI DAN AQLI
Tanya : Apakah perlunya Ilmu Tarekat itu dipelajari? Kata Tasawuf sekali pun tidak pernah disebut di dalam Al-Qur’an dan Hadits yang sahih. Bukankah jika Tarekat dan Tasawuf itu begitu penting dalam Islam tentu Allah dan Rasulnya akan memerintahkan manusia untuk belajar Tarekat atau Tasawuf? Tidak mungkin Nabi yang bersifat “Balligh” (menyampaikan) sengaja menyembunyikan perintah Allah.
Jawab : Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa Tasawuf dan Tarekat adalah ilmu di luar Islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebangainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini adalah orang yang berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syari’at), alumni Arab Saudi atau Mesir dengan sekian banyak gelar sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam mazhab, akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab Wahabi.
Banyak orang belum begitu paham tentang apa itu Tasawuf dan apa itu Tarekat. Konsekwensinya, kalau anda ingin mengambil Tasawuf, pasti anda mengambil Tarekat, sebab pengamalan Tasawuf ada dalam Tarekat. Belajar Tasawuf ada dua jenis, yaitu secara teori dan praktek. Secara teori telah diajarkan di IAIN melalui pengajaran mata kuliah Ilmu Tasawuf, bahkan anda bisa menjadi seorang profesor Tasawuf tanpa harus bertarekat di bawah bimbingan mursyid. Namanya juga teori, tentu yang didapatkan hanya teori saja. Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid.
Tasawuf dan Tarekat adalah dua hal yang tak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Sedemikian eratnya pertalian tersebut sehingga antara Tasawuf dan Tarekat tak bisa dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
Menurut Alfaqir yang miskin ilmu ini eratnya pertalian antara keduanya disebabkan karena Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu merupakan anak kandung dari Tarekat itu sendiri. Artinya tarekat sebagai suatu disiplin ilmu telah lebih dahulu ada sebelum munculnya Tasawuf itu sendiri.Dan bahwasanya antara Tasawuf dan Tarekat, keduanya memiliki perbedaan. Menurutnya, Tasawuf adalah ilmu yang bersifat teori, sedangkan Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek. Tasawuf merupakan petunjuk atau keterangan yang menunjukkan jalan bagaimana cara mengenal kepada Allah. Namun bagaimana tatacara pelaksanaannya dalam Tasawuf tidak diperoleh penjelasannya dalam Tasawuf, sebab segala sesuatu yang berkaitan dengan praktek merupakan bagian atau pun lahan dari pada Ilmu Tarekat. Ilmu Tarekat tidak disiarkan dan tidak ditulis di dalam buku-buku dan tidak boleh disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya. Oleh karena itu Ilmu Tarekat bersifat rahasia karena ilmu ini berhubungan dengan yang ghaib, yaitu Allah. Oleh karena Allah itu ghaib, maka untuk mengenal-Nya terlebih dahulu harus mempelajari yang ghaib yaitu Ilmu Tarekat. Oleh sebab itu Ilmu Tarekat tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang dan ilmu ini harus dirahasiakan, kecuali bagi mereka yang mau mempelajarinya. Adapun larangan untuk menyampaikan yang ghaib tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Jin ayat 26 :
عَلِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.
Artinya : Ilmu yang ghaib itu jangan dijelaskan kepada siapapun.
Larangan untuk menyampaikan ilmu yang ghaib ini juga disampaikan oleh Nabi yang didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari pada Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”
Berdasarkan ayat dan Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa Allah dan Nabi melarang menyampaikan ilmu yang ghaib ini kepada sembarang orang, sebab apabila ilmu ini disampaikan secara terang-terangan sebagaimana halnya Ilmu Syari’at, dikhawatirkan akan ada sebagian orang yang akan menyia-nyiakan ilmu ini atau bahkan menyalahgunakannya, terlebih lagi bila ilmu yang ghaib ini disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya, maka akan terjadi kesalahpahaman bagi yang menerimanya bahkan bukan tidak mungkin malah justru menyesatkan.
Oleh sebab itu ilmu ini hanya diberikan kepada orang yang datang memintanya, sebab ilmu ini adalah ilmu yang sangat berharga, karena dengan ilmu inilah manusia dapat mengenal Allah. Memberikan ilmu ini kepada sembarang orang atau kepada orang yang tidak memintanya, itu sama artinya dengan mengalungkan emas ke leher kerbau atau babi yang pada akhirnya akan dibawanya berkubang.
Adapun terhadap Ilmu Fiqh atau Ilmu Syari’at tidak ada larangan sama sekali untuk menyampaikannya kepada siapapun. Karena secara tegas Nabi telah bersabda :
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.
Oleh sebab itu Ilmu Fiqh tidak boleh disembunyikan, bahkan Nabi memberi peringatan terhadap orang-orang yang menyembunyikan Ilmu Fiqh, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.
Adapun dalail tentang wajibnya bertarekat/bertasawuf adalah sebagai berikut :
Firman Allah (Q.S. Al-Jin: 16)
وَأَنْ لَوِاسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لأَسْقَنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا
Artinya: “Sekiranya mereka itu tetap berjalan (bertarekat) di atas jalan yang benar (Tarekat yang benar) niscaya Aku (Allah) akan memberikan kepada mereka meniman yang menghilangkan haus (petunjuk/Tarekat yang menghilangkan kesesatan)”
فَاسْلُكِى سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً
Artinya: “Tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu (bersuluklah kamu)”.
petunjuk Hadis tentang Tasawuf/Tarekat, sebagaimana sabda Rasulullah:
وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ . فَقَالَ ص م :لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مُغَمِّضًا عَيْنَهُ ثُمَّ قَالَهَا عَلِىُّ كَذَلِكَ
Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allh. Maka sejenak Rasulullah mengucapkan: Laa Ilaaha Illallaah tiga kali sedangkan kedua matanya tertutup kemudian Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan dari Hasan Basri diajarkan kepada Habib Al-Ajmi ,dari Al-Habib diajarkan kepada Daud Al-Thaiy, dari Daud diajarkan pula kepada Makhruf Al-Kurahi, dari Makhruf diajarkan pula kepada Junaid Al-Bahdadi. Kemudian timbulah menjadi ilmu pendidikan yang dinamakan dengan ilmu Tarekat atau Tasawuf.
Kemudian Ali ibn Abi Thalib berkata:
رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ
“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.
WALLOHU A'LAM .......
http://www.facebook.com/groups/forsil.jabodetabek/doc/232237796914618/
BERDASARKAN DALIL NAQLI DAN AQLI
Tanya : Apakah perlunya Ilmu Tarekat itu dipelajari? Kata Tasawuf sekali pun tidak pernah disebut di dalam Al-Qur’an dan Hadits yang sahih. Bukankah jika Tarekat dan Tasawuf itu begitu penting dalam Islam tentu Allah dan Rasulnya akan memerintahkan manusia untuk belajar Tarekat atau Tasawuf? Tidak mungkin Nabi yang bersifat “Balligh” (menyampaikan) sengaja menyembunyikan perintah Allah.
Jawab : Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa Tasawuf dan Tarekat adalah ilmu di luar Islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain sebangainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini adalah orang yang berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syari’at), alumni Arab Saudi atau Mesir dengan sekian banyak gelar sehingga masyarakat awam dengan mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam mazhab, akan tetapi telah menjadi corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab Wahabi.
Banyak orang belum begitu paham tentang apa itu Tasawuf dan apa itu Tarekat. Konsekwensinya, kalau anda ingin mengambil Tasawuf, pasti anda mengambil Tarekat, sebab pengamalan Tasawuf ada dalam Tarekat. Belajar Tasawuf ada dua jenis, yaitu secara teori dan praktek. Secara teori telah diajarkan di IAIN melalui pengajaran mata kuliah Ilmu Tasawuf, bahkan anda bisa menjadi seorang profesor Tasawuf tanpa harus bertarekat di bawah bimbingan mursyid. Namanya juga teori, tentu yang didapatkan hanya teori saja. Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid.
Tasawuf dan Tarekat adalah dua hal yang tak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Sedemikian eratnya pertalian tersebut sehingga antara Tasawuf dan Tarekat tak bisa dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
Menurut Alfaqir yang miskin ilmu ini eratnya pertalian antara keduanya disebabkan karena Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu merupakan anak kandung dari Tarekat itu sendiri. Artinya tarekat sebagai suatu disiplin ilmu telah lebih dahulu ada sebelum munculnya Tasawuf itu sendiri.Dan bahwasanya antara Tasawuf dan Tarekat, keduanya memiliki perbedaan. Menurutnya, Tasawuf adalah ilmu yang bersifat teori, sedangkan Tarekat adalah ilmu yang bersifat praktek. Tasawuf merupakan petunjuk atau keterangan yang menunjukkan jalan bagaimana cara mengenal kepada Allah. Namun bagaimana tatacara pelaksanaannya dalam Tasawuf tidak diperoleh penjelasannya dalam Tasawuf, sebab segala sesuatu yang berkaitan dengan praktek merupakan bagian atau pun lahan dari pada Ilmu Tarekat. Ilmu Tarekat tidak disiarkan dan tidak ditulis di dalam buku-buku dan tidak boleh disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya. Oleh karena itu Ilmu Tarekat bersifat rahasia karena ilmu ini berhubungan dengan yang ghaib, yaitu Allah. Oleh karena Allah itu ghaib, maka untuk mengenal-Nya terlebih dahulu harus mempelajari yang ghaib yaitu Ilmu Tarekat. Oleh sebab itu Ilmu Tarekat tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang dan ilmu ini harus dirahasiakan, kecuali bagi mereka yang mau mempelajarinya. Adapun larangan untuk menyampaikan yang ghaib tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Jin ayat 26 :
عَلِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.
Artinya : Ilmu yang ghaib itu jangan dijelaskan kepada siapapun.
Larangan untuk menyampaikan ilmu yang ghaib ini juga disampaikan oleh Nabi yang didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari pada Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”
Berdasarkan ayat dan Hadis di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa Allah dan Nabi melarang menyampaikan ilmu yang ghaib ini kepada sembarang orang, sebab apabila ilmu ini disampaikan secara terang-terangan sebagaimana halnya Ilmu Syari’at, dikhawatirkan akan ada sebagian orang yang akan menyia-nyiakan ilmu ini atau bahkan menyalahgunakannya, terlebih lagi bila ilmu yang ghaib ini disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya, maka akan terjadi kesalahpahaman bagi yang menerimanya bahkan bukan tidak mungkin malah justru menyesatkan.
Oleh sebab itu ilmu ini hanya diberikan kepada orang yang datang memintanya, sebab ilmu ini adalah ilmu yang sangat berharga, karena dengan ilmu inilah manusia dapat mengenal Allah. Memberikan ilmu ini kepada sembarang orang atau kepada orang yang tidak memintanya, itu sama artinya dengan mengalungkan emas ke leher kerbau atau babi yang pada akhirnya akan dibawanya berkubang.
Adapun terhadap Ilmu Fiqh atau Ilmu Syari’at tidak ada larangan sama sekali untuk menyampaikannya kepada siapapun. Karena secara tegas Nabi telah bersabda :
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.
Oleh sebab itu Ilmu Fiqh tidak boleh disembunyikan, bahkan Nabi memberi peringatan terhadap orang-orang yang menyembunyikan Ilmu Fiqh, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.
Adapun dalail tentang wajibnya bertarekat/bertasawuf adalah sebagai berikut :
Firman Allah (Q.S. Al-Jin: 16)
وَأَنْ لَوِاسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لأَسْقَنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا
Artinya: “Sekiranya mereka itu tetap berjalan (bertarekat) di atas jalan yang benar (Tarekat yang benar) niscaya Aku (Allah) akan memberikan kepada mereka meniman yang menghilangkan haus (petunjuk/Tarekat yang menghilangkan kesesatan)”
فَاسْلُكِى سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً
Artinya: “Tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu (bersuluklah kamu)”.
petunjuk Hadis tentang Tasawuf/Tarekat, sebagaimana sabda Rasulullah:
وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ وَقُلْ اللهُ اللهُ . فَقَالَ ص م :لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مُغَمِّضًا عَيْنَهُ ثُمَّ قَالَهَا عَلِىُّ كَذَلِكَ
Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata: Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah? Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allh. Maka sejenak Rasulullah mengucapkan: Laa Ilaaha Illallaah tiga kali sedangkan kedua matanya tertutup kemudian Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan dari Hasan Basri diajarkan kepada Habib Al-Ajmi ,dari Al-Habib diajarkan kepada Daud Al-Thaiy, dari Daud diajarkan pula kepada Makhruf Al-Kurahi, dari Makhruf diajarkan pula kepada Junaid Al-Bahdadi. Kemudian timbulah menjadi ilmu pendidikan yang dinamakan dengan ilmu Tarekat atau Tasawuf.
Kemudian Ali ibn Abi Thalib berkata:
رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ أَنْتَ أَنْتَ اللهُ
“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.
WALLOHU A'LAM .......
http://www.facebook.com/groups/forsil.jabodetabek/doc/232237796914618/
Setelah ikut pelatihan shalat khusuk ustadz Abu Sangkan tepatnya Dari tahun 2006 sd 2009 saya sangat bahagia karena dadaku dipenuhi kata 'Alloh' yang indah meski tak kusengaja berdzikir , tapi setelah ba'iat toriqoh sejak 2009 sampai sekarang, hilang semuanya, jangankan 'nikmat dengan Alloh di dada', khusukpun tidak....bgm ini sampai saat ini aku menyesal sekali ba'iat karena menghilangkan semua kenikmatan berdzikir...
BalasHapusAl-kisah Si pemuda & Dzun Nun Al-Misri
BalasHapusأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
بسم الله الرحمن الرحيم
Suatu hari, Dzun Nun Almishri bertemu dengan pemuda yang kerap mencemuh kaum sufi. Pemuda ini menganggap kaum sufi adalah miskin dan membawa ajaran yang penuh dengan kesesatan serta banyak membuang masa dengan hanya berzikir pada ALLAH swt sahaja.
Dzun Nun lalu memberikan cincin di jarinya pada si pemuda itu dengan penuh senyuman. Dzun nun berkata: "Gadaikan cincin ini pada para pedagang di pasar dengan harga satu dinar" katanya.
Kemudian si pemuda membawa cincin itu ke pasar, tapi tak ada seorang pedagang pun yang mau menerimanya dengan harga satu dinar. Lalu dia menyampaikan hal itu pada Dzun Nun.
"Sekarang bawalah cincin ini kepada PARA PEDAGANG PERMATA dan tanyakan berapa harganya" kata Dzun Nun.
Seketika kembali, pemuda itu berkata pada dzun nun : “para pedagang permata menawarkan nilai cincin itu sebanyak 1000 dinar”.
Dzun Nun tersenyum simpul sambil berkata: " Nah..ilmu pengetahuan kamu terhadap kaum sufi tidak kurang sama seperti pengetahuan para pedagang biasa yang berada di pasar tadi kerna tidak tahu menilai harga cincin ini”.
“Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya mampu dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat dengan penuh kearifan untuk menjenguknya. Dan itu memerlukan prosses kefahaman dan kepakaran dalam ilmu di bidang tersebut. Kita tak boleh menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas yang akibatnya nanti kita akan mengatakan emas itu permata dan permata itu emas walhal kedua-duanya amat berbeza”.
Seketika itu juga pemuda itu memohon maaf dan bertaubat atas sikapnya terhadap kehidupan dunia sufi selama ini.
***Dzun Nun Al Mishri adalah seorang tokoh sufi, Nama sebenarnya Abdul Faiz Tsauban bin Ibrahim Almishri. Beliau dilahirkan dikota Ekhim, Mesir pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat di Mesir pada tahun 246 H. Dimakamkan dekat makam para sahabah radhiallah anhum, Amr bin Ash dan Uqbah bin Al Harun. beliau dianggap sebagai ahli kimia dan mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir. sejak kecil lagi beliau sudah dikenali sebagai ahli ilmu, karena kegigihannya dan ketekunan dalam memahami beberapa ilmu pengetahuan agama.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
*Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
"لاتَبْكُوا عَلَى الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلَكِنْ ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ".
Maksudnya:
"Jangan tangisi agama ini apabila masih ditangani oleh ahlinya, namun tangisilah agama ini apabila ditangani oleh orang yang bukan ahlinya".
(Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan al-Thabarani)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda :
"إِذَاوَسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتِظَرِ السَّاعَةَ".
Maksudnya:
"Apabila diserahkan sesuatu urusan kepada orang yang bukan pakarnya "( bukan ahlinya )" maka perhatikanlah saat kebinasaannya".
(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari)
Berkata Al-Hafizh Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi :
قَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ بَكْرٍ الْخَطِيْبُ الْبَغْدَادِيُّ أَحَدُ كِبَارِ الْمُحَدِّثِيْنَ :
"لا يُؤْ خَذُ الْعِلْمَ إِلا مِنْ أَفْوَاهِ الْعُلََمَاءِ".
Maksudnya:
"Tidak diambil sesuatu ilmu agama melainkan daripada mulut-mulut para ulama`".