Ngaji Hikam Part 27
Kamis, 29 Desember 2016
Tulis Komentar
NGAJI HIKAM #27
Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #27 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
______________________
______________________
CURIGAILAH DOAMU!
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Thalabuka minhu ittihamun lahu, wa thalabuka lahu ghaibatun minka ‘anhu, wa thalabuka li-ghairihi li-qillati haya’ika minhu, wa thalabuka min-ghairihi li-wujudi bu’dika minhu.
Terjemahan:
Saat engkau meminta kepada Tuhan,
Itu adalah sejenis tuduhan tersembunyi padaNya.
Saat engkau mencariNya,
Itu pertanda engkau alpa dan abai terhadapNya.
Saat engkau mencari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah kehilangan rasa malu padaNya.
Saat engkau meminta dari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah menjauh dariNya.
Itu adalah sejenis tuduhan tersembunyi padaNya.
Saat engkau mencariNya,
Itu pertanda engkau alpa dan abai terhadapNya.
Saat engkau mencari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah kehilangan rasa malu padaNya.
Saat engkau meminta dari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah menjauh dariNya.
Mari kita ulas dan pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah kali ini dengan dua pendekatan dan pengertian: pengertian umum dan khusus.
Pengertian umum. Saat kita meminta sesuatu kepada Tuhan, itu mengandung tuduhan tersembunyi pada Dia bahwa Dia seolah-olah tak tahu apa yang kita butuhkan, apa yang terbaik untuk kita; seolah-olah kitalah lebih tahu tentang apa yang paling pas untuk kita. Saat kita meminta sesuatu pada Tuhan, kita secara tak langsung menuduhNya telah mengabaikan (ihmal) kita.
Ini jelas pengertian yang sangat mendalam, dan bisa menjebak seseorang untuk memahaminya secara salah. Sering kali kebijaksanaan para sufi begitu dalam maknanya, sehingga mudah di salah-pahami oleh mereka yang belum menyelam dalam lautan kesejatian wujud. Di mata seorang yang belum mencapai hakikat sesuatu, kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dituduh berlawanan dengan syariat. Sebab syariat memerintahkan kita untuk berdoa.
Bagaimana mungkin berdoa dianggap sebagai tuduhan tersembunyi pada Tuhan seperti dikemukakan Ibn Ataillah itu? Ini jelas tidak cocok dengan syariat!
Seperti kita tahu sendiri, dalam bagian terdahulu, kita sudah belajar dari Syekh Ibn Ataillah: bahwa doa adalah tindakan kemuliaan yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Tetapi, yang dianjurkan dalam konteks mistik atau kesufian bukanlah doa yang mengharap pamrih, doa yang ingin mengatur-atur Tuhan, seolah-olah kita adalah majikan bagi Tuhan.
Pada bagian ini, kita diajak oleh Syekh Ibn Ataillah untuk naik setingkat lebih tinggi lagi dalam tangga perjalanan spiritual. Pada tingkatan ini, kita bahkan harus mencurigai doa itu sendiri. Sebab, saat kita berdoa, jangan-jangan jauh di dalam hati kecil kita ada tuduhan tersembunyi pada Tuhan. Tuduhan itu, kalau diverbalisasikan, kira-kira akan berbunyi demikian, “Tuhan, masak engkau tak tahu sih, aku sedang butuh ini dan itu? Masak aku harus meminta secara terus terang kepadaMu? Bukankah Engkau Maha Tahu?”
Kita harus mencurigai doa, tetapi bukan meninggalkan doa sama sekali. Kita tetap berdoa. Tetapi saat doa, kita harus waspada agar tak terjatuh dalam jebakan “tuduhan tersembunyi” kepada Tuhan semacam itu.
Ilmu tasawwuf adalah ilmu yang, antara lain, sangat peduli pada gerak-gerik hati manusia, termasuk gerak-gerik yang paling tersembunyi yang tidak kita sadari. Dalam tingkatan tertentu, tasawwuf adalah semacam psikoanalisa, tetapi dalam konteks kehidupan spiritual. Tujuan akhir psikoanalisa yang sekular seperti diperkenalkan oleh Freud, dan psikoanalisa ala kaum sufi, pada dasarnya sama: yaitu membantu manusia merealisasikan kesehatan mental dan spiritual/rohani.
Pada bagian berikutnya, Syekh Ibn Ataillah mengemukakan sebuah kebijaksanaan lain yang sangat mendalam: Saat kita mengatakan bahwa kita mencari Tuhan, pada titik itulah kita sebetulnya sedang lupa dan abai pada Tuhan. Apa gunanya kita mencari Tuhan, jika kita terus ingat dan hadir bersama Tuhan? Mencari sesuatu adalah pertanda bahwa sesuatu itu sedang tak ada (ghaibah) di tangan kita.
Saat engkau mencari selain Tuhan, engkau sejatinya tak punya rasa malu pada-Nya. Sebab Tuhan ada di mana-mana, bahkan di dalam pekerjaan kantor yang sedang anda lakukan. Saat anda mengarjakan tugas-tugas kantor, dan anda melakukannya untuk pamrih selain Tuhan, misalnya semata-mata (ingat: semata-mata!) hanya untuk meraih gaji, anda sebetulnya tak tahu malu. Sebab Tuhan ada di sana, tetapi anda mencari hal yang lain.
Ini sama saja dengan situasi semacam ini: Di sebuah event besar di mana hadir seorang pemain bola kelas dunia seperti Christiano Ronaldo atau Lionel Messi, anda justru ingin “selfie” dan berpotret dengan pemain bola tak ternama dari Kulonprogo atau Kedung Kimpul (yang kebetulan hadir di sana), ketimbang memburu selfie dengan pemain kelas dunia itu. Anda, dalam situasi seperti itu, benar-benar tak tahu malu, tak tahu diuntung!
Saat anda meminta sesuatu kepada seseorang selain Tuhan, itu jelas pertanda bahwa anda sedang jauh dari Tuhan. Sebab, Tuhan begitu dekat kepada anda tetapi anda justru meminta kepada pihak lain yang sebetulnya jauh dari anda, walau secara fisik dekat dengan anda.
Sekali lagi, kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini jangan disalah-pahami sebagai larangan untuk meminta tolong dari teman atau menolong teman. Kebijaksanaan mistik harus dipahami secara tepat, bukan ditelan mentah-mentah. Jika itu yang anda lakukan, anda akan mengalami apa yang oleh orang Jawa disebut “klèlègèn” -- menelan sesuatu yang menyebabkan anda tersedak.
Maksud kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang terakhir itu ialah: Anda jangan tergantung pada pertolongan orang lain. Pada akhirnya, anda harus bersandar pada diri anda sendiri, pada Tuhan. Sebab Tuhan ada dalam diri anda. Anda, dengan kata lain, harus mandiri, otonom! Bukan heteronom.
Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: Al-sukunu tahta majari al-aqdar afdhalu ‘inda al-‘arifina min al-tadarru’i wa al-ibtihal.
Artinya kira-kira: Bagi orang-orang yang sudah mencapai tahapan ma’rifat (memahami kesejatian Tuhan), diam dan mengalir mengikuti kehendak/takdir Tuhan, jauh lebih baik ketimbang meminta-minta, memohon-memohon kepadaNya. Jika kita memakai ungkapan yang populer dalam bahasa Inggris, “flowing with the flow”, mengalir bersama kehidupan. Tak terlalu neka-neka. Tak terlalu banyak cas-cis-cus.
Jika seorang ‘arif, orang yang bijak berdoa, mereka melakukannya bukan dalam kerangka mengharap hasil dari sana. Mereka berdoa secara, meminjam istilah filosof Jerman Immanuel Kant, deontologis. Dia berdoa karena memang berdoa adalah kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya. Bukan karena alasan yang lain, misalnya agar Tuhan mengabulkan doa itu dan kita memperoleh “material reward”, hasil yang kasat mata.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini? Seorang beriman dan seorang yang bijak harus benar-benar bisa menata gerak-gerik hatinya sehingga tidak keliru tempat, dan salah sasaran, “off-mark”. Saat kita berdoa, jangan sampai hati kita salah langkah, sehingga secara diam-diam kita menuduh Tuhan telah abai pada kita.
Saat kita minta pertolongan dari orang lain, jangan pula kita salah menata niat dan mengatur hati, sehingga dalam diri kita muncul “sense of dependency”, perasaan tergantung pada orang lain, sehingga kita kehilangan otonomi, rasa kemandirian. Sebab merasa tergantung pada orang lain bisa merupakan penyakit mental yang destruktif. Ini yang hendak diobati oleh tasawwuf.[]
Oleh : Mbah Panglima Jampari (03 November 2015 - 08:36)
Sumber : https://web.facebook.com/notes/forsil-aswaja-nusantara-fan-/0027-ngaji-hikam-27/564697970347054
Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 27"
Posting Komentar