Ngaji Hikam Part 23
Minggu, 25 Desember 2016
Tulis Komentar
NGAJI HIKAM #23
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Bismillahirrahmanirrahim,
Mari kita mulai Ngaji Hikam #23 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kyai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah…
Mari kita mulai. Bismillah…
-----------------------------
BICARALAH KEPADA ORANG SESUAI DENGAN MAQAM-NYA
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Ma taraka min al-jahli syai’an man arada an yudzhira fi al-waqti ghaira ma adzhaharahu ‘l-Lahu fihi.
Terjemahannya:
Tak ada yang lebih bodoh ketimbang saat seseorang menampakkan sesuatu pada waktu tertentu sesuatu yang tidak ditampakkan oleh Tuhan pada saat itu.
Mari kita ulas kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang agar “misterius” kali ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.
Pengertian umum. Masing-masing orang, dalam hidup ini, memiliki maqam atau “level spiritual” sendiri-sendiri. Ada orang-orang yang maqamnya adalah maqam “zahir”, maqam syariat, maqam di mana seseorang mengikuti hukum-hukum agama yang berlaku untuk semua orang. Berhadapan dengan orang semacam ini, kita harus memperlakukannya sesuai dengan maqamnya itu. Kita juga harus memakai bahasa yang sepadan dengannya.
Sebaliknya, terhadap orang yang berada pada maqam “ma’rifat”, maqam mereka yang telah mencapai rahasia ketuhanan, dia juga harus memperlakukan orang itu sesuai dengan maqamnya serta menggunakan bahasa yang sepadan dengannya.
Orang yang menyalahi “aturan” ini adalah orang yang bodoh sebodoh-bodohnya. Jika terhadap orang yang maqamnya adalah maqam syariat, kita memakai bahasa orang-orang ma’rifat, maka sudah tentu kita akan mendapatkan banyak kesulitan dari sana. Kita bahkan bisa “dibunuh” karena melanggar aturan “empan papan” ini, aturan bahwa setiap orang punya maqam sendiri-sendiri dan bahwa untuk masing-masing orang ada bahasa khusus yang tepat untuk yang bersangkutan.
Ini bukan hal yang khusus berlaku dalam dunia mistik. Dalam dunia sehari-hari pun kita dituntut untuk melakukan hal yang sama. Setiap komunitas memiliki bahasanya masing-masing. Setiap orang memiliki level pengetahuan tertentu. Jika kepada orang-orang umum (“the commoner”) kita memakai bahasa kaum spesialis, tentu orang-orang itu tak akan paham. Masih bagus jika mereka cukup tidak paham saja. Kadang-kadang keadaannya lebih gawat lagi: orang-orang umum itu marah bukan main karena bahasa yang kita pakai tidak “pas” untuk mereka.
Dalam setiap konteks dan momen tertentu, Tuhan menampakkan “kebenaran” tertentu yang pas dengan momen itu. Orang yang bijak, yang ‘arif dan mengetahui rahasia Tuhan harus menampakkan “kebenaran” yang sesuai dengan kebenaran yang disingkapkan Tuhan pada momen itu. Mereka yang menyalahi aturan ini, dia bukan lah orang yang ‘arif, tetapi orang jahil, orang yang bodoh.
Pengertian khusus. Orang yang telah mencapai tahap ma’rifat, yaitu memahami rahasia Tuhan, dia mengerti bagaimana memperlakukan manusia sesuai dengan maqamnya. Orang yang ‘arif, mengerti haqiqat atau kesejatian realitas, dia tahu maqam orang-orang dan memperlakukannya sesuai dengan maqam itu.
Seorang yang ‘arif berkata: Barangsiapa memperlakukan orang-orang dengan ilmu zahir (fikih) dalam keadaan apapun (tanpa melihat konteksnya), dia akan mendapatkan banyak musuh. Tetapi, barangsiapa memperlakukan orang-orang dengan ilmu haqiqat (yakni, memperlakukan orang-orang sesuai dengan maqamnya masing-masing), dia akan bisa mengerti mereka. Dan dia tak akan dimusuhi oleh orang banyak.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini? Kita harus bersikap bijak (‘arif). Kebijakan itu tercermin dalam kemampuan kita untuk memperlakukan orang-orang sesuai dengan maqamnya masing-masing dan berbicara kepada mereka dengan bahasa yang tepat.[]
_______________
KESIMPULAN NGAJI HIKAM #23
1. Dalam setiap "al-waqt" atau momen spiritual tertentu, Tuhan menampakkan kebenaran sesuai dengan momen itu. Seorang yang arif atau memahami rahasia Tuhan, akan bersikap sesuai dengan tuntutan momen itu. Jika momen-nya adalah momen syariat, dia akan menanggapi dan menyikapinya sesuai dengan hukum lahir, hukum yang berlaku untuk semua orang.
Sebalinya, jika momennya adalah momen "batin", momen di mana yang berlaku adalah hukum haqiqat, maka dia akan menyikapinya sesuai dengan tuntutan momen itu.
Seseorang yang telah mampu memahami rahasia dan kebenaran Tuhan dalam setiap momen, dalam setiap keadaan, maka dia adalah orang yang telah mencapai puncak kearifan. Orang semacam ini tak akan pernah "mencerca" keadaan, juga tidak akan pernah menanggapi keadaan dengan bahasa dan tanggapan yang tak tepat dan tak sesuai dengan keadaan itu.
2. Orang yang bodoh, jahil, adalah orang yang tak mengerti keadaan, orang yang menarapkan standar tunggal untuk semua situasi. Orang semacam ini akan mendapatkan kemarahan bukan saja dari Tuhan, tetapi juga dari masyarakat pada umumnya,
Mari kita berdoa semoga Tuhan memberikan kita mata batin yang jernih sehingga kita bisa memahami segala bentuk situasi dengan jernih. Sampai bertemu di Ngaji Hikam #24 besok malam, pukul 8-9.
Mari kita tutup dengan bacaan hamdalah.
Wassalam.
Oleh : Mbah Panglima Jampari (15 Oktober 2015 - 07:37)
Sumber : https://web.facebook.com/notes/forsil-aswaja-nusantara-fan-/0023-ngaji-hikam-23/559174404232744
Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 23"
Posting Komentar