Ngaji Hikam Part 14
Jumat, 16 Desember 2016
Tulis Komentar
NGAJI HIKAM #14
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Bismillahirrahmanirrahim
Malam ini, mohon maaf kembali, saya ada acara, sehingga tak bisa menunggui teman-teman.
Mari kita mulai Ngaji Hikam #14 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, kepada ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai.
--------------------
MEDITASI IBN ATAILLAH (2): KURANGILAH BAGASIMU!
Sykeh Ibn Ataillah berkata:
Am kaifa yarhalu ilal-Lahi wahuwa mukabbalun bi syahawatihi?
Terjemahan: Bagaimana engkau bisa melakukan perjalanan menuju Tuhan, sementara engkau terbelenggu oleh keinginan-keinginanmu sendiri?
Renungan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami dalam pengertian awam/umum dan khusus.
Pengetian umum. Renungan kali ini masih berkaitan dengan renungan sebelumnya. Dalam renungan terdahulu, Ibn Ataillah berbicara tentang ilham yang bercucuran datang kepada hati yang bersih. Sementara hati dan rohani manusia yang disesaki dengan “akwan”, kahanan, keinginan-keinginan duniawi yang sementara sifatnya, akan pelan-pelan mengalami kegelapan, mengalami karatan, sehingga sulit untuk melakukan komunikasi dengan Tuhan.
Pada bagian ini, Ibn Ataillah melanjutkan renungannya dengan menunjukkan aspek yang lain, aspek yang masih berhubungan dengan bagian sebelumnya. Seseorang akan sulit melakukan perjalanan untuk “menjumpai” Tuhan, jika dia tak mampu membersihkan dirinya dari keinginan-keinginan sesaat, dari syahwat keduniaan, dari hal-hal yang mengalihkan perhatian dari fokus utama, yaitu Tuhan. Syahwat semacam itu hanya menjadi beban saja dalam perjalanan manusia menuju Tuhan.
Jika anda memiliki tujuan besar, memiliki ambisi untuk mencapai sesuatu yang bermakna dalam hidup anda, anda harus siap melakukan pengorbanan. Anda harus siap mengurangi isi bagasi anda. Jangan sibukkan dirimu dengan bagasi yang terlalu berat. Bawalah bagasi secukupnya, sehingga anda bisa memusatkan perhatian anda pada tujuan utama, tak diganggu dengan urusan bagasi yang berlebihan.
Dalam tradisi Buddhisme Zen dikenal kebijaksanaan berikut ini. Jika gelas penuh air, dia susah menerima air lagi. Dia hanya bisa menerima air kembali jika sudah dikosongkan isinya. Seseorang akan susah menerima pengertian dan pemahaman yang baru jika dia telah merasa penuh, tak butuh tambahan pengertian baru. Karena itu, kosongkanlah dirimu, anggaplah dirimua adalah murid baru yang belum tahu ap-apa. Sebab pengetahuan yang lama bisa menjadi belenggu.
Seseorang yang hendak berjalan menuju Tuhan, hendak menerima ilmu dan pemahaman tentang hakekat ketuhanan, dia juga harus melakukan hal yang serupa. Dia harus bisa mengosongkan “bagasi spiritual”-nya, jangan mengisinya dengan keinginan-keinginan yang hanya akan mengalihkan perhatiannya dari Tuhan.
Bagasi yang penuh bisa mengganggu perjalanan seseorang. Perjalanan akan bisa anda nikmati jika anda fokus pada tujuan utama perjalanan itu. Bukan perjalanan yang direpotkan dengan soal bagasi.
Pengertian khusus. Perjalanan, kata Syekh Ibn Ajibah, tak bisa duduk berbarengan dengan belenggu yang mengganggu perjalanan itu. “Al-rahil ma’a al-takbil la yajtami’an”. Selama hati seseorang terpenjara dalam kesenangan terhadap sesuatu, melekat kepadanya, terikat kepada hal-hal yang sementara, walau hal-hal itu dibolehkan menurut agama (halal), dia akan dibelenggu olehnya.
Seorang yang menjalani laku sufi tidak berbicara mengenai halal dan haram saja. Mereka berbicara mengenai sesuatu yang lebih dari itu. Banyak hal yang secara hukum agama halal, seperti makan, minum, mencari kekayaan. Tetapi tak semua hal yang halal mempunyai manfaat bagi kehidupan spiritual seorang sufi yang melakukan perjalanan menuju Tuhan.
Dalam tradisi mistik Islam dikenal kebijaksanaan seperti ini: hasanat al-abrar sayyi’atul muqarrabin. Hal-hal yang baik dalam standar orang saleh dalam pengertian umum bisa menjadi hal yang buruk dalam standar para wali yang dekat dengan Tuhan. Sama dengan situasi berikut ini: menggunakan bahasa kasar mungkin dianggap normal bagi orang-orang biasa di jalanan.
Tetapi seorang tokoh yang terhormat tentu akan dipandang aneh dan “berdosa” secara sosial jika melakukan tindakan itu.
Karena itu, seseorang yang hendak mengenal Tuhan, menjumpaiNya, hendak mendapatkan pengertian yang hakiki (“ma’rifat”), dia harus memutus apa yang oleh para sufi disebut ala’iq, atau kaitan-kaitan dengan hal-hal duniawi yang bisa mengganggu perhatian.
Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari renungan Ibn Ataillah ini? Memutus hubungan dengan syahwat, dengan keinginan-keinginan sementara, adalah langkah yang harus kita lakukan jika kita hendak “bertemu” dengan Tuhan. Kita tidak akan bisa berjumpa dengan Tuhan jika hati kita dipenuhi, dibelenggi, dibebani oleh hal-hal yang non-ketuhanan.
Kita bisa menyebut ini sebagai ilmu pengosongan diri. Jika anda mau mengenal hakikat diri anda, “the real self” anda, apa yang harus anda lakukan pertama kali adalah menyingkirkan, mengupas lapisan-lapisan dalam diri anda yang anda anggap bagi dari identitas anda: seperti kekayaan, pakaian yang indah, jabatan, status sosial, citra sosial tentang diri anda, dsb. Banyak hal yang anda kira merupakan “anda” tetapi sejatinya itu bukan anda.
Jika anda tak bisa melepaskan diri dari identitas-identitas palsu itu, maka anda akan terhalang untuk mengetahui siapa diri anda. Jika anda gagal mengenal diri anda, maka anda akan gagal juga mengenal siapa itu Tuhan. Jika anda gagal mengenal Tuhan, anda akan gagal pula memahami “sangkan paran”, asal-usul dan tujuan hidup anda. Dengan kata lain, anda akan kehilangan orientasi.
Anda akan terjatuh dalam keadaan disorientasi dan kebingungan. Kurangi bagasi anda sehingga anda bisa mendapatkan kembali orientasi![]
Bersambung.....
Oleh : Mbah Panglima Jampari (01 Oktober 2015 - 22:04)
Sumber : https://web.facebook.com/notes/forsil-aswaja-nusantara-fan-/0014-ngaji-hikam-14/559136794236505
Belum ada Komentar untuk "Ngaji Hikam Part 14"
Posting Komentar